Angka krisis pangan hari ini mengkhawatirkan. Data dalam Global Report on Food Crises 2023 mencatat bahwa setidaknya 250 juta warga dunia menghadapi kelaparan. Ancaman ini coba ditanggapi oleh berbagai pihak. Salah satunya upaya dilakukan oleh Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Departemen Antropologi.
Tim PkM ini terdiri dari Dr. Atik Triratnawati, M.A., Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A., Muhammad Zamzam Fauzanafi, M.A. dan dua mahasiswa, yaitu Eka Yuniati dan Ferdy Azmal Fakhrani. Dalam programnya, tim PkM ini mencoba melakukan pengembangan pangan alternatif seperti pengolahan porang. Program ini merupakan program lanjutan tahun sebelumnya dengan mengusung tema yang serupa, yaitu ”Pengembangan Kuliner Berbahan Porang di Desa Karangpatihan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur”. Program yang dilaksanakan pada 24—27 Agustus 2023 ini bertempat di empat dusun yaitu Dusun Krajan, Dusun Selodono, Dusun Dungus dan Dusun Jurugan.
Alasan dipilihnya porang menjadi pangan alternatif bukan tanpa sebab. Porang merupakan komoditi lokal Indonesia yang memiliki potensi besar di pasar internasional. Misalnya saja yang telah dilakukan di Madiun, harga satu kilogram umbi porang bisa mencapai Rp14.000. Satu hektar tanah yang subur bisa menghasilkan sekitar 80 ton umbi untuk sekali panen dalam kurun waktu 1-2 tahun. Salah satu bentuk inovasi pengolahan porang yang sudah ada adalah beras shirataki yang harga jualnya tinggi. Porang banyak tumbuh di Ponorogo dan menjadi salah satu program Pemda Ponorogo dengan memberikan stimulan berupa bibit dan mendukung adanya asosiasi petani porang. Selain itu, Perhutani juga memberi akses kepada para petani untuk menanam porang di sekitar tanaman keras.
engan beragamnya potensi porang, maka Tim PkM melaksanakan pendampingan pelatihan dalam pengolahan makanan berbahan dasar porang. Salah satu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam kegiatan tersebut adalah lomba memasak makanan yang berbahan porang.
“Lomba ini diadakan supaya memotivasi warga agar semakin semangat dalam melakukan inovasi terkait resep makanan tersebut,” jelas Dr. Atik Triratnawati, M.A.
Kegiatan PkM kemudian ditutup dengan focus group discussion (FGD). Kegiatan ini dilakukan untuk mendengarkan aspirasi ibu-ibu PKK di keempat dusun pelaksanaan pengabdian. Hal tersebut perlu dilakukan karena selama ini pandangan masyarakat bahwa umbi porang menimbulkan rasa gatal jika dipegang sehingga membuat masyarakat ragu-ragu.
“Setelah adanya program ini, saya jadi tahu bahwa porang miliki nilai tinggi,” ujar salah satu anggota PKK yang mengikuti forum diskusi.
Dengan dilaksanakannya program PkM ini, tim berharap diseminasi pengetahuan dan keterampilan ini dapat menjadikan kuliner porang menjadi budaya makan dan pangan alternatif Ponorogo.
Penulis: Humas FIB