Urine dan darah mengandung senyawa urea yang sering dijadikan indikator penting kondisi hati dan ginjal manusia serta berguna untuk diagnosa penyakit serta kondisi tubuh, seperti dispepsia, mag, fungsi ginjal, dan dehidrasi. Terdapat beberapa metode yang telah diterapkan untuk menganalisis kandungan urea, seperti kromatografi yang ditambah dengan spektrometri massa NMR dan spektroskopi infra merah.
Banyak metode bisa diterapkan untuk menganalisa kandungan senyawa urea, sayang metode tersebut memerlukan peralatan mahal dan prosedur yang rumit. Meski begitu kemajuan teknologi saat ini membuatnya mudah. Menganalisis kandungan urea dalam urine semakin mudah salah satunya dengan menggunakan sensor bahan alam.
“Sensor pendeteksi urea selama ini menggunakan reagen para-dimetilaminobenzaldehida (pDMAB) yang merupakan senyawa berbahaya dan kurang aman digunakan. Karenanya diperlukan reagen lain yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan dasar sensor urea agar lebih aman,” ujar Adyatma Bhagaskara mewakili tim PKM bidang Riset Eksakta, di Kampus UGM, Rabu (18/10).
Bersama empat mahasiswa FMIPA UGM lainnya Mefi Nur Fadzila, Gavriel Hagai Paulus Sumlang, Sabrina Gita Pramesti, dan Nur Azis, ia juga melakukan eksplorasi potensi Minyak Cengkih sebagai bahan Sensor Urea. Tergabung dalam Tim PKM UGM Bidang Riset Eksakta dengan bimbingan Prof.Drs.Jumina, Ph.D, mereka melakukan penelitian dengan judul Sintesis Turunan Senyawa Eugenol dari Minyak Cengkih sebagai Bahan Dasar Sensor Urea dalam Urin.
Pada penelitian ini, Tim PKM Bidang Eksakta UGM menggunakan turunan senyawa eugenol dari cengkih yang kemudian dilakukan sintesis vanilin dari eugenol sebagai bahan dasar sensor urea yang ramah lingkungan. Dengan cara itu diharapkan menghasilkan bahan sensor urea yang aman.
Adyatma menjelaskan penentuan urea dilakukan secara spektrofotometri yaitu metode kolorimetri. Dengan cara ini dinilai dapat mendeteksi urea melalui perubahan warna.
“Kami melirik potensi pada buah cengkih karena mengandung senyawa eugenol sangat besar hingga 95 persen,” ucapnya.
Eugenol sendiri, menurutnya, merupakan prekursor sintesis senyawa vanilin yang analog dengan para-dimetilaminobenzaldehida (pDMAB) sehingga sama-sama mampu difungsikan sebagai pendeteksi urea. Ketika senyawa vanilin ketika direaksikan dengan urea maka akan membentuk kompleks urea-vanilin yang memunculkan warna kuning-kehijauan.
Dalam keteranganya, Adyatma menambahkan dalam penelitiannya sensor urea diformulasikan dengan vanilin dalam pelarut kompatibel etanol dan kondisi basa serta diaplikasikan dengan disemprotkan. Usaha selama masa penelitian pun berbuah manis lantaran kajian potensi mengungkap vanilin dapat difungsikan sebagai bahan sensor urea sekaligus lebih efektif sebagai reagen dalam mendeteksi keberadaan urea dalam urin.
“Vanilin berhasil memunculkan perubahan warna serta jumlah yang diperlukan lebih sedikit dibandingkan dengan reagen pDMAB. Tim inipun pada akhirnya memanfaatkan platform media sosial berupa Instagram, Youtube, dan Facebook sebagai media promosi dan penyebaran edukasi seputar topik sensor urea dalam urin,” terangnya.
Selaku ketua tim, Adyatma berharap ide riset ini tidak hanya berhenti pada kompetisi, namun ke depan bisa dilakukan untuk pengembangan aplikasi sensor dari bahan alam. Pembuatan sensor ini melibatkan pemanfaatan cengkih yang ketersediaannya melimpah dan murah, sekaligus diharapkan mampu mengatasi persoalan reagen yang tidak ramah lingkungan.
Penulis : Agung Nugroho