
Tingkat partisipasi publik dalam pengambilan suatu kebijakan ataupun peraturan perundang-undangan dinilai masih sangat minim. Akibatnya setiap kebijakan atau peraturan tersebut dipublikasi menimbulkan gelombang reaksi protes dari elemen masyarakat, bahkan berpotensi dibatalkan. Oleh karena itu, perlu ada upaya strategis dan sistematis bagi pemerintah untuk memperluas partisipasi publik.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi yang bertajuk “Jalan Panjang Demokrasi: Kebijakan Tanpa Kebajikan,” yang berlangsung di fisipol UGM, rabu (30/4) lalu. Diskusi yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) Fisipol UGM, menghadirkan beberapa orang pembicara yakni, Dosen Hukum Tata Negara Dr. Zainal Arifin Mochtar, Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden, Dedek Prayudi, B.A, M.Sc dan Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM, Media Wahyudi Askar, M.Sc., Ph.D.
Zainal mengatakan proses demokratisasi bisa berjalan dengan baik apabila negara melibatkan partisipasi publik dalam perumusan suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Tingkat partisipasi publik ini adalah satu-satunya aspek yang membedakan sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan lainnya. Bahkan kebijakan yang dukungan publik akan bisa diterapkan dalam waktu lebih lama dan berkelanjutan. “Kebijakan atau undang-undang yang melibatkan publik, biasanya umurnya akan lebih panjang dan tidak mudah diganti. Nah, di kita itu tidak dijalankan,” papar Zainal.
Tidak hanya soal kebijakan, imbuhnya, praktik demokrasi di tingkat Mahkamah Konstitusi dan pembuatan undang-undang selama ini juga belum terpenuhi dengan baik.
Zainal juga menyebut pemerintah lebih sering mengambil langkah ‘pemadam kebakaran’ seperti sejumlah kebijakan kontroversial akhir-akhir ini. Diawali dengan perumusan kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat, ketika dipublikasi menimbulkan protes, baru dibatalkan. “Belum ada upaya komunikasi dari pemerintah ke masyarakat mengenai perumusan kebijakan ataupun pertimbangan sesuai kebutuhan masyarakat. Perlu ada upaya strategis dan sistematis bagi pemerintah untuk memperluas partisipasi publik,” ujarnya.
Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden Republik Indonesia, Dedek Prayudi, B.A, M.Sc menegaskan, pemerintah sudah memberikan ruang bagi partisipasi publik pada proses perumusan kebijakan. Ia mencontohkan kasus kenaikan pajak 12% yang langsung menuai protes dari masyarakat. “Saat itu saya mendapat protes dari masyarakat, saya rekam dan saya sampaikan. Kemudian kami ubah skemanya hingga tidak terjadi kenaikan PPN itu,” ucapnya. Adanya perubahan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah sangat memertimbangkan aspirasi masyarakat.
Lebih lanjut, ia memberikan gambaran terhadap beberapa kebijakan yang diambil berdasarkan kondisi di masyarakat. Contohnya program Makan Bergizi Gratis. Program ini diinisiasi oleh Presiden Prabowo setelah melihat tingginya tingkat stunting dan kekurangan gizi anak Indonesia. Akar masalahnya memang kompleks, namun salah satunya adalah karena masyarakat belum mampu memenuhi kebutuhan gizi anak dalam keluarga. “Maka buatlah program MBG. Saya kira, praktik demokrasi yang dilakukan pemerintah sudah lebih dari sekedar prosedural,” ungkapnya.
Media Wahyudi Askar menilai pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memiliki gaya berbeda dalam merumuskan kebijakan. Padahal dalam konsep perumusan kebijakan idealnya diawali dengan perencanaan, pertimbangan publik, baru implementasi. Berbeda jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah saat ini. “Siklusnya berubah. Pak Prabowo dan tim melahirkan siklus baru. Dimulai dengan instruksi, lompat langsung implementasi, kemudian nunggu reaksi publik,” terangnya.
Mengerucut pada efisiensi anggaran oleh pemerintah, Askar mempertanyakan tujuan dari efisiensi tersebut. Memang pemerintah menjelaskan langsung bahwa efisiensi ditujukan untuk mengelola program MBG dan sebagian diteruskan ke Danantara. Tetapi mengingat dampak luar biasa dari efisiensi ini, Wahyudi meragukan adanya upaya pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam kebijakan tersebut.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson