Fenomena thrifting atau berburu barang bekas telah bergeser dari sekadar penghematan menjadi tren gaya hidup populer di kalangan generasi muda. Meskipun terlihat sebagai solusi ekonomis dan ramah lingkungan, praktik thrifting impor ternyata menyimpan dampak yang kompleks, terutama dalam memicu budaya overconsumption serta memperbesar krisis lingkungan yang dipicu oleh limbah tekstil dari fast fashion. Selain itu, aktivitas ini juga menimbulkan tantangan serius bagi produk dan industri lokal. Bahkan, belakangan ini pemerintah pun mengeluarkan kebijakan menghentikan impor pakaian bahan bekas.
Brand Ambassador Sahabat Lingkungan, Pujia Nuryamin Akbar, menyoroti dampak lingkungan yang ditimbulkan dengan menggunakan pakaian bekas. Pasalnya, pakaian bekas yang digunakan menggunakan bahan polyester yang mengandung senyawa mikroplastik. “Sebagian besar terbuat dari bahan yang mengandung mikroplastik. Partikel ini tidak hanya berakhir di TPA, tetapi juga ketika dicuci mikroplastik ini akan meluruh dan akan berakhir di lautan,” tegasnya dalam Diskusi Komunikasi Magister (Diskoma) Fisipol UGM yang bertajuk “Di balik Euforia Thrifting : Gaya Hidup, Krisis Lingkungan, hingga Ilusi Keberlanjutan”, Kamis (27/11), secara daring.
Lebih lanjut, Pujia menyoroti garis sejarah tentang istilah thrift. Sejak abad ke-14, jelasnya, thrift berkaitan dengan nilai kehematan dan penggunaan sumber daya secara bijak bertanggung jawab. Ia menilai, perkembangan thrifting saat ini tidak dapat dilepaskan dari budaya overconsumption yang dipicu tren digital. Secara historis, di Indonesia awal mulanya thrifting masuk dari pelabuhan di Sumatera, Batam, dan sulawesi pada abad ke-19.
Sementara itu, Puteri Indonesia 2023 Farhana Nariswari menguraikan dampak fast fashion dan ketimpangan distribusi limbah tekstil dunia. Ia menyampaikan data bahwa sebagian besar pakaian donasi dari negara maju justru berakhir di negara berkembang. “Hanya sekitar 10 persen pakaian donasi yang benar-benar dipakai kembali. Sisanya 90 persen sisanya menjadi limbah yang berakhir di negara-negara berkembang,” paparnya.
Farhana turut menekankan pentingnya apresiasi terhadap produk lokal. Ia memperkenalkan konsep produk buatan tangan berkualitas tinggi (artigianale) dan mengaitkannya dengan kekayaan tekstil Indonesia seperti tenun dan batik. “Saya menggunakan kain dari berbagai daerah dalam sesi pemotretan dan berbagai kegiatan selama rangkaian acara Puteri Indonesia sebagai bentuk dukungan kepada para perajin lokal”, pungkasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : IG Farhana Nariswari
