
Secara kuantitatif, momentum kebijakan hilirisasi terutama di sektor pertambangan, telah menunjukkan hasil yang sangat signifikan. Kebijakan larangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 telah menjadi katalisator yang melipatgandakan nilai ekspor produk turunannya, dari sekitar USD 1,1 miliar sebelum kebijakan, meroket hingga mencapai USD 30-33 miliar pada tahun 2022.
Menurut Ir. Ikaputra, M.Eng., P.hD, selaku Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, keberhasilan ini secara langsung memicu gelombang investasi yang masif, di mana Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi di sektor hilirisasi mencapai Rp 375,4 triliun sepanjang tahun 2023 dan tren positif ini berlanjut dengan realisasi sebesar Rp 407,8 triliun sepanjang tahun 2024. Sayang, di balik kisah sukses tersebut, muncul sebuah paradoks pembangunan yang krusial.
Disebutnya, lonjakan volume produksi akibat hilirisasi yang masif ternyata tidak diimbangi oleh kesiapan infrastruktur penunjang, terutama di sektor logistik. Ironisnya, keberhasilan program ini justru menjadi pemicu utama krisis konektivitas yang mengancam daya saing produk nasional. “Kesenjangan kinerja logistik ini menunjukkan adanya defisit daya saing struktural yang menjadi hambatan serius. Infrastruktur seperti Jalan Tol Trans-Sumatra (JTTS) memegang peran vital sebagai katalisator untuk mengatasi masalah ini”, ungkapnya dalam acara HK ExperTalk Webinar Series, Rabu (23/7) lalu.
HK ExperTalk Webinar Series diselenggarakan Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM bekerjasama dengan PT Hutama Karya. Webinar digelar dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-24 Pustral UGM dengan mengangkat tema Transformasi Infrastruktur Penunjang Hilirisasi dan Industrialisasi: Strategi Inovatif Menuju Kemandirian Ekonomi Nasional. Sejumlah pembicara hadir dalam acara ini, diantaranya M. Firdausi M Asisten Deputi Infrastruktur Ekonomi dan Industri pada Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar dari Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Dindin Solakhuddin, Direktur Utama PT Hutama Marga Waskita, dan Dr. Ir. Olly Norojono selaku Tenaga Ahli Pustral UGM.
Dalam webinar ini, Firdausi menyampaikan sub tema Infrastruktur Konektivitas Penunjang Hilirisasi dan Industrialisas dalam Pembangunan Nasional yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas SDM untuk Indonesia Emas 2045. Disebutnya salah satu prioritas dari Asta Cita adalah melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya peningkatan nilai tambah, produktivitas dan daya saing industri pengolahan dengan arah kebijakan percepatan hilirisasi industri pengolahan SDA unggulan dan aglomerasi industri. “Sasaran berikutnya adalah terwujudnya peningkatan integrasi ekonomi domestik dan global dengan arah kebijakan perkuatan infrastruktur konektivitas nasional, peningkatan investasi untuk integrasi ekonomi domestik dan global, serta peningkatan perdagangan domestik, antar-wilayah, dan ekspor”, katanya.
Firdausi berpendapat untuk mendukung hal tersebut, katanya, infrastruktur harus menghubungkan kawasan produktif dan komoditas hilirisasi prioritas serta memberi akses ke pasar. Perencanaan matang yang berbasis pusat kegiatan diperlukan untuk memastikan setiap investasi infrastruktur mendukung pertumbuhan ekonomi. “Peningkatan nilai tambah dapat dicapai melalui percepatan hilirisasi komoditas dengan nilai tambah tinggi serta aglomerasi industri di kawasan. Terdapat 8 komoditas prioritas berdasarkan RPJMN 2025-2029 yaitu Tembaga, Nikel, Bauksit, Timah, Kelapa Sawit, Kelapa, Rumput Laut, dan Sagu. Sementara aglomerasi industri tersebar pada 23 titik Kawasan Industri atau Kawasan Ekonomi Khusus”, jelasnya.
Menyampaikan sub tema Peran Infrastruktur Strategis Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) dalam Hilirisasi & Industrialisasi di Pulau Sumatera, Dindin Solakhuddin menjelaskan PT Hutama Karya diberikan mandat untuk membangun JTTS untuk pembenahan konektivitas di Sumatera dengan jumlah ruas 25 sepanjang 2.848 km. Berbagai data menunjukkan JTTS menjadi enabler industrialisasi dan hilirisasi komoditas. JTTS menjadi tulang punggung konektivitas lintas zona ekonomi serta mempercepat distribusi komoditas unggulan dengan mengubungkan kawasan produksi dengan Pelabuhan dan KI/KEK. Menghubungkan kawasan produksi dengan Pelabuhan dan KI/KEK, menurunkan biaya logistik komoditas utama sebesar 15–30%. “Dengan pembangunan ini mampu memangkas waktu pengiriman barang hingga 50% lebih cepat, dan mendorong peningkatan volume ekspor melalui pelabuhan strategis sebesar lebih kurang 30% dalam lima tahun”, ungkapnya.
Dindin Solakhuddin memaparkan JTTS bukan hanya membuka konektivitas, tetapi menjadi katalis pertumbuhan ekonomi baru di Sumatera. Dengan akselerasi pengembangan kawasan industri strategis seperti Kuala Tanjung, Tanjung Api-Api, Bengkalis, Tenayan, Jambi Kuningking, dan Way Pisang, manfaat ekonomi yang dihasilkan jauh melampaui investasi fisik tol itu sendiri. JTTS mempercepat akses wisata ke bandara utama, mendongkrak jumlah kunjungan turis hingga 30% dan menambah nilai ekonomi pariwisata Sumatera lebih dari Rp15 triliun per tahun. “Dengan JTTS terintegrasi ke Bandara Kualanamu, gerbang utama internasional, berhasil menstimulasi pertumbuhan wisatawan asing Sumut lebih dari 183% dan mendongkrak kunjungan domestik”, ucapnya.
Olly Norojono sebagai pembicara terakhir memaparkan materi mengenai Toward efficient, inclusive, and sustainable infrastructure development. Mengambil pengalaman bertahun-tahun di Asian Development Bank (ADB), Olly dalam kesempatan ini menyampaikan beberapa contoh project sebagai pembelajaran pengembangan infrastruktur, baik yang sukses maupun kurang. Beberapa contoh diantaranya adalah perencanaan konprehensif dan terintegrasi untuk jalan pegunungan di Papua New Guinea (PNG), serta pengembangan bandara yang terindikasi kurang efektif di Kertajati (Majalengka), Jenderal Besar Soedirman (Purbalingga), Ngloram (Cepu, Blora), Wiriadinata (Tasikmalaya), serta Trunojoyo (Sumenep). “Contoh lain adalah pendanaan yang kurang efisien dan berkelanjutan untuk Metropolitan Sanitation Management and Health Project di Medan dan Yogyakarta, serta pembiayaan untuk keberlanjutan lingkungan di Samoa untuk Alaoa Multipurpose Dam Project, juga Green Investment E-Mobility Program yang didanai pula oleh Green Climate Fund”, imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Ekonomi Bisnis