
Dewasa ini permasalahan pengolahan sampah menjadi isu yang sangat krusial di Indonesia. Konsumsi produk yang menghasilkan sampah dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah dalam setiap tahunnya. Sampah rumah tangga seperti sisa makanan, sampah plastik, dan sampah organik menjadi penyumbang utama dengan kalkulasi 60 persen dari total volume sampah.
Menanggapi isu tersebut, Organisasi Pendidikan Bina Antarbudaya bekerja sama dengan Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat UGM menggelar kegiatan sosialisasi pengelolaan sampah rumah tangga bagi siswa SMA dan Asrama yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan ini diselenggarakan di Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Gadjah Mada, Selasa (14/10). Kegiatan ini menghadirkan tokoh penggiat pengelolaan sampah sekaligus pendiri Resikplus, Bayu Imamtoko, sebagai pembicara utama.
Para peserta diajak untuk belajar mengenai cara pengolahan sampah rumah tangga, cara membedakan sampah organik maupun non organik, hingga melakukan presentasi langsung secara berkelompok dengan konsep Future Waste. Hal ini mendorong peserta untuk berimajinasi secara kreatif dalam menanggapi isu lingkungan secara mendalam. Selain itu, peserta juga diajak belajar mengelola sampah organik dengan memanfaatkan media sederhana penggunaan drip komposter sebagai alat pembuatan kompos.
Pada sesi praktik pembuatan kompos, Bayu menjelaskan bahwa pembuatan kompos sederhana bisa dilakukan dirumah menggunakan drip komposter atau ember tumpuk dengan menggunakan sampah sisa dapur seperti sisa makanan, kulit buah, dan sampah organik. Proses pengomposan yang benar dan dilakukan dengan tepat membuat kompos tidak menimbulkan bau maupun lalat. Menurutnya, kunci pengomposan yang baik ada pada penggunaan bahan kering sebagai penutup pada setiap lapisan sampah agar tetap kering dan tidak menimbulkan kelembaban. “Kunci keberhasilan pembuatan kompos jika hasilnya tidak menimbulkan bau. Walaupun dilakukan secara sederhana, tetapi hasilnya besar untuk lingkungan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Bayu menekankan perlu peran aktif dan tanggung jawab bersama dalam pengelolaan sampah itu sendiri, baik pemerintah, masyarakat, dan produsen. Menurutnya, sekitar 80 persen sampah rumah tangga seharusnya mampu dikelola secara mandiri oleh masyarakat di rumah dengan cara pemilahan dan pengelolaan sederhana. Sementara itu, sekitar 20 persen sisanya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menangani jenis sampah residu yang sulit terurai seperti pembalut dan popok sekali pakai. “Sampah rumah tangga harusnya selesai di rumah tangga itu sendiri. Pemerintah cukup mengurus sisanya saja,” tegasnya.
Salah satu perwakilan dari SMA Muhammadiyah 2, Anggita, mengatakan kegiatan yang digelar sangat menarik dan interaktif karena acara diisi tidak sekadar pemaparan materi, tetapi terdapat praktik langsung dalam pembuatan kompos dari sampah organik. Ia mengatakan, bahwa kegiatan ini memperluas pandangan terhadap isu-isu lingkungan yang sedang terjadi. “Saya menjadi lebih tahu permasalahan tentang sampah hingga pengelolaannya baik dari pemahaman hingga penerapannya di kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Andrea Jelvabelani, selaku ketua pelaksana menjelaskan pentingnya edukasi sejak dini, terutama bagi siswa SMA dalam mengelola sampah organik secara mandiri. Ia menjelaskan, pemilihan sasaran pada siswa SMA karena dinilai sebagai kelompok yang paling banyak menghasilkan limbah makanan. Melalui kegiatan ini, para siswa dapat belajar bagaimana mengelola sisa makanan dan sampah organik dengan penuh tanggung jawab. Ia mengatakan, dengan adanya kegiatan ini dapat membuka peluang kolaborasi yang baik antara sekolah, komunitas lingkungan, hingga pemerintah dalam pengolahan sampah secara berkelanjutan. “Kami berharap kedepannya sekolah dapat bekerja sama dengan komunitas pendukung dan juga dengan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini,” pungkasnya.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Dr. dr. Rustamaji menuturkan isu pengelolaan sampah semakin mengemuka setelah kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak mampu menampung jumlah sampah dari rumah tangga. Menurutnya, semua pihak harus bekerja sama dalam pengelolaan sampah dimulai dari gerakan untuk memilah dan mengolah sampah menjadi nilai ekonomi bagi masyarakat. “Persoalan ini menuntut hadirnya inovasi baru dalam sistem pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan. Remaja memiliki andil besar dalam meminimalisir sampah dari sisa makanan dan terbiasa tidak menggunakan kantong atau botol plastik,” harapnya.
Penulis : Cynthia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa