Setiap negara memiliki fokus permasalahan pangan yang berbeda. Singapura misalnya, mereka tidak punya lahan untuk menghasilkan pangan sendiri yang mengharuskan impor beras naik setiap tahunnya. Ketika pandemi lalu, Singapura mengalami masalah pangan serius karena perdagangan internasional terhambat. Sedangkan Indonesia sendiri merupakan salah satu dari empat negara penghasil beras terbesar di dunia, karena masih tersedianya lahan pertanian yang cukup. Namun potensi lahan pertanian tersebut tidak serta merta membuat kebutuhan pangan nasional tercukupi seiring meningkatnya pertambahan jumlah penduduk.
Dalam satu dekade terakhir ini, persoalan tentang kesejahteraan dan ketahanan pangan telah menjadi isu global. Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa pada tahun 2019, sebanyak 690 juta orang di dunia menderita kelaparan. Oleh karena menyelesaikan persoalan ketahanan pangan membutuhkan kerja sama dan kolaborasi antar sektor untuk mencapai keberlanjutan ketersediaan pangan.
Hal itu mengemuka dalam jumpa pers Summer Course 2024 on Interprofessional Healthcare bertajuk “Nourishing Futures: Exploring the Intersection of Food Security and Health Status” yang diinisiasi oleh Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK). Bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Farmasi, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Fakultas Peternakan UGM, Summer Course 2024 kali ini akan berlangsung pada 19-28 Juni 2024. Peserta summer course kali ini diikuti para mahasiswa yang berasal dari berbagai negara diantaranya datang dari berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Belanda, Republik Ceko, Turki, China, Thailand, Malaysia, Indonesia.
Disampaikan oleh Tony Arjuna, S.Gz., M.Nut.Diet., Ph.D., AN., APD., selaku Ketua Panitia Summer Course 2024, ketergantungan Indonesia terhadap konsumsi beras harus mulai diubah dari kebiasaan. “Kita produsen beras terbesar ketiga di dunia, tapi masih tetap impor beras. Ini dibangun dari budaya kita juga, padahal makanan pengganti nasi juga banyak kita hasilkan,” paparnya.
Tony juga menyampaikan bagaimana stunting di Indonesia masih menjadi masalah yang tak kunjung usai. “Kita juga mengalami masalah stunting yang kompleks. Bukan hanya soal nutrisi, tapi juga menyangkut ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Tony mencontohkan kasus anak nelayan yang banyak mengalami stunting, padahal penghasilan utama keluarga berasal dari ikan. Hal ini dikarenakan kesejahteraan nelayan yang jauh dari kata berkecukupan. “Ikan hasil tangkapan harus dijual sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, listrik, air, hingga pendidikan anak,” ujarnya.
Masalah malnutrisi banyak dipahami sebagai kekurangan nutrisi saja. Padahal kelebihan nutrisi tertentu juga diklasifikasikan sebagai malnutrisi. Tony menjelaskan, sebanyak 1,5 miliar orang di dunia mengalami anemia dengan mayoritas perempuan dan anak-anak. Perempuan hamil utamanya, akan melahirkan anak yang berpotensi tinggi mengalami stunting jika dirinya mengalami anemia selama mengandung dan melahirkan. Fenomena ini menyebabkan lingkaran setan yang terhubung dan terus berlanjut.
Pada summer Course 2024 kali ini ditujukan kepada peserta lintas negara untuk mendalami persoalan pangan, meliputi malnutrisi, ketahanan pangan, dan kesejahteraan pangan internasional. “Mahasiswa ini nantinya akan diajak untuk melihat langsung bagaimana swadaya pangan dilakukan. Kami sebagai lembaga akademik tentunya tentunya memiliki tanggung jawab besar untuk membantu penyelesaian pangan nasional,” terang Ketua Tim Internasionalisasi FK-KMK UGM, Prof. dr. Gunadi, Sp.BA., Subsp.DA(K).
Melalui pembelajaran mendalam, kata Gunadi, peserta tidak hanya melakukan diskusi secara teoritis tentang masalah pangan, namun juga melakukan kunjungan secara langsung di Desa Wisata dan kampung mina padi Samberembe, Pakem, Sleman, dan kompleks Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) UGM di Berbah Sleman.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson