Maluku Utara merupakan daerah yang dikenal sebagai penghasil pala dan cengkeh. Sebutan sebagai Kota Rempah atau The Spicy Island pun pantas disandang Maluku Utara karena menjadi penghasil rempah-rempah terbesar di Indonesia.
Upaya mengembalikan kejayaan rempah di Maluku Utara sebagai warisan budaya dunia (world heritage) menjadi salah bagian dari flagship penelitian unggulan UGM. Dalam pelaksanaannya UGM membangun kolaborasi dengan Pemda Halamhera Utara dalam pengembangan kosmopolis rempah Maluku Utara.
Direktur Penelitian UGM, Prof. Mirwan Ushada, mengatakan UGM mengelola flagship penelitian memajukan IPTEK untuk mewujudkan integrasi riset yang berfokus pada pengembangan teknologi maju menuju kesejahteraan dan kedaulatan Indonesia. Salah satunya dalam mengembangkan kosmopolis rempah.
“Maluku Utara merupakan ikon provinsi yang sangat lekat dengan rempah. UGM ingin mengembangkan kosmopolis Maluku Utara, itu diksi yang kita usulkan untuk komplementer yang disebut dengan jalur rempah,”paparnya belum lama ini saat melakukan pemetaan rempah di Halmahera Utara.
Riset terkait kosmopolis rempah telah dilakukan sejak tahun 2021 dengan dibentuknya tim kosmopolis rempah UGM yang melibatkan dosen maupun peneliti dari berbagai fakultas antara lain sejarah, kedokteran, kehutanan, arkeologi dan lainnya. Tidak kurang dari 20 peneliti yang akan diterjunkan guna meneliti kawasan rempah Maluku Utara. Mereka akan melakukan kajian dan riset di berbagai bidang untuk mengembalikan kejayaan rempah di Maluku Utara. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah kegiatan rekonstruksi, revitalisasi, dan inovasi.
Mirwan menjelaskan rekonstruksi dimaknai sebagai upaya menggali nilai lokal dan budaya yang terdapat di Maluku Utara. Selanjutnya, akan dilakukan revitalisasi guna membangkitkan kembali kejayaan rempah. Sementara itu, hasil KKN UGM di Halmahera Utara dijadikan sebagai informasi awal untuk melakukan penelitian. Melalui pendekatan tersebut akan dilakukan kajian untuk menggabungkan kesenjangan yang terjadi antara kejayaan di masa lalu dan kejayaan masa kini yang selanjutnya dapat dikembangkan inovasi sesuai kebutuhan saat ini.
Lebih lanjut ia mengatakan terdapat potensi besar kolaborasi UGM dengan Halamhera Utara mewujudkan Kosmopolis Maluku Utara. Beberapa diantaranya adalah eksplorasi tanaman rempah melalui identifikasi biodiversitas dan potensi ekonomi. Lalu, dokumentasi warisan budaya rempah untuk pengungkapan potensi lokal, pengembangan living museum Teluk Kao, pemberdayaan masyarakat untuk penguatan ekonomi, ketahanan pangan dan budaya lokal mendukung kosmopolis rempah, serta integrasi dukungan pengembangan master plan kawasan wisata.
Kolaborasi riset UGM dengan Pemkab Halmahera Utara sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yakni melakukan kemitraan untuk mencapai tujuan berkelanjutan, serta mengurangi kelaparan dan kemiskinan.
Sekda Halmahera Utara, Erasmus J. Papilaya, menyebutkan pala merupakan komoditas unggulan di daerahnya, khususnya pala Dukono yang memiliki ukuran lebih bsear dibanding pala jenis lainnya. Pala ini telah memperoleh sertifikasi dari Kementerian Pertanian RI.
Menanggapi ajakan kolaborasi dari UGM melakukan riset terkait pengembangan rempah, papilaya menyambut baik hal tersebut. Pengembangan pala memerlukan kerja sama dan kolaborasi dengan banyak pihak sebab masyarakat Halmahera Utara belum bisa memanfaatkan pala dengan optimal. Dengan begitu diharapkan pengembangan pala bisa meningkatkan kesejahteraan warga dan pendapatan daerah.
Pala hingga kini masih menjadi primadona dan tumpuan hidup bagi sebagian besar warga di Mauluku Utara. Salah satunya Jainudin Kambosa, warga Desa Ngidiho, Kecamatan Galela Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Ia menggantungkan hidup dari hasil bertanam pala. Setiap minggunya ia bisa mendapatkan uang minimal Rp500.00 dari hasil panen pala.
“Kami ada satu kebun sekitar 50 pohon pala. Panen biasanya tiap minggu, tetapi hasilnya tidak selalu sama tergantung kondisi cuaca. Cukup tidak cukup hasilnya ya disyukuri untuk biaya empat anak sekolah”ungkapnya.
Lain halnya dengan Theo Djiko, warga Desa Pitu, Kecamatan Tobelo Tengah, Halamhera Utara. Ia baru mengelola kebun pala yang merupakan warisan dari orang tuanya setelah pensiun.
“Bapak saya yang tanam pohon pala, usia pohonnya mungkin sudah ada 28 tahun,”tuturnya.
Tidak seperti warga pada umumnya yang memanen pala setiap minggu, pala di kebun Theo dipanen setiap hari dengan cara mengambil buah pala yang jatuh. Setiap harinya ada tengkulak yang mengambil hasil panen tersebut. Biji pala dijual seharga Rp85.000 per Kg. Sementara salut biji atau yang disebut fuli dijual seharga Rp200.000 per Kg.
“Fuli ini jadi bagian yang paling mahal. Sementara untuk daging buahnya dibuang,” jelasnya.
Menurut data Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, pada tahun 2023, tercatat ada 9.127 petani pala di Halmahera Utara. Dari jumlah itu, petani pala terbanyak berada di Kecamatan Galela Barat sejumlah 1.518 orang. Disusul kemudian Kecamatan Malifut sebanyak 973 petani pala. Lalu Kecamatan Kao Utara, 767 orang dan Tobelo Barat 704 petani.
Kepala Desa Ngidiho Kecamatan Galela Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, Kamal Abdullah, menyampaikan desanya memiliki program menanam pohon pala bagi warga. Program tersebut dilakukan sebelum tahun 2003 silam dengan satu kepala keluarga minmal jarus menanam 50 pohon pala. Dengan program itu, ada setidaknya 400 kepala keluarga memiliki pohon pala.
Dalam sejarah nusantara, Maluku Utara khususnya Ternate dan Tidore menjadi jalur perdagangan rempah yang cukup masyhur pada abad ke-15. Peneliti Kosmopolis Rempah UGM, Dr. Sri Margana, menjelaskan perdagangan rempah di Maluku dimulai dengan kedatangan para pedagang China yang kemudian mengenalkan rempah ke wilayah Mediterania. Berawal dari hal itu menjadikan sejumlah pedagang dari Eropa mulai berdatangan ke Maluku Utara dan membeli rempah langsung dari warga.
Margana mengatakan rempah saat itu lebih mahal dibandingkan dengan emas. Rempah menjadi objek perburuan bagi bangsa Eropa kala itu. Bukan hanya untuk memenuhi hasrat lidah dan gaya hidup orang Eropa, rempah juga menjadi simbol strata kebangsawanaan mereka di masa itu. Rempah yang tersaji di meja makan dipakai untuk menunjukkan status sosial atau tingkat kebangsawanan mereka.
“Potensi rempah di Maluku Utara cukup besar, namun memang tidak lagi seperti dulu,” jelasnya.
Margana mengatakan budi daya rempah termasuk pala di Maluku Utara tidak lagi dikelola seperti dulu. Dahulu pala dibudidayakan oleh perusahaan-perusahaan besar. Sementara saat ini pala dibudidayakan oleh orang per orang di masyarakat.
“Budi daya rempah di Maluku sudah tidak dikelola seperti sebelumnya oleh company. Saat ini hanya memelihara dari warisan saja dan tidak ada penanaman kembali,” paparnya.
Oleh sebab itu, tim kosmopolis rempah UGM berusaha memetakan budi daya rempah mulai dari wilayah budi daya, volume, siapa yang membudidayakan serta bagaimana pemasarannya. Hal itu dilakukan untuk memberikan peta jalan bagi program kosmopolis rempah khususnya dalam porgram revitalisasi rempah di Maluku Utara.
Penulis/foto: Ika