World Health Organization (WHO) telah menetapkan Monkeypox Virus (Mpox) sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat global atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) pada pertengahan Agustus lalu. Penetapan ini menyusul dengan meningkatnya penyakit yang disebabkan oleh monkeypox virus (MPXV) di Republik Demokratik Kongo dan sejumlah negara di Afrika. Bahkan Mpox varian terbaru (clade 1b) telah ditemukan di Asia Tenggara. Varian ini dipercaya lebih ganas dan dapat menyebar lebih cepat.
Peneliti Pusat Kedokteran Topis (PKT) Universitas Gadjah Mada dr. Eggi Arguni, M.Sc., PhD., Sp. A(K) mengatakan kecil kemungkinan diberlakukan lockdown seperti pandemi Covid-19 lalu. Pasalnya perbedaan antara Mpox dengan Covid-19. Bila virus Covid-19, semua orang memiliki potensi yang sama untuk terkena. Sebaliknya pada penyakit Mpox, terdapat kelompok tertentu yang berisiko tertular virusnya. “Adapun lockdown diberlakukan untuk mencegah transmisi infeksi yang bersifat massal, seperti COVID-19,” katanya.
Eggi menganjurkan masyarakat untuk segera mengunjungi fasilitas layanan kesehatan terdekat jika mengalami tanda gejala Mpox. Ia meyakinkan, Puskesmas atau rumah sakit sudah mempunyai alur pemeriksaan. “Jika pasien termasuk dalam kriteria suspek, maka akan diambil sampel yang akan diperiksa di laboratorium,” katanya.
Ia mendesak pemerintah perlu untuk melakukan surveilan dan masyarakat yang melakukan perjalanan jauh untuk mengisi Satu Sehat Health Pass. “Semua itu bertujuan agar pemerintah mengetahui apakah ada kasus atau suspek Mpox,” katanya.
Terkait gejala yang ditimbulkan penyakit Mpox ini, dokter spesialis anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Sardjito, menuturkan Mpox diawali gejala-gejala yang mirip dengan penyakit-penyakit infeksi virus seperti demam, lemas, badan ngilu, dan nyeri kepala. Selanjutnya, beberapa hari kemudian muncul tanda di kulit di wajah, telapak tangan dan kaki. “Awalnya berbentuk titik berwarna kemerahan, lalu terjadi peninggian kulit yang berisi cairan jernih. Cairan tersebut kemudian berubah menjadi keruh dan akhirnya mengering meninggalkan bekas yang sering disebut keropeng,” katanya.
Terdapat dua jenis penularan Mpox. Awalnya (Mpox) merupakan penyakit zoonosis, ditularkan oleh hewan ke manusia. Lambat laun virus Mpox dapat menular dari manusia ke manusia lain tanpa perantara hewan. Penyebarannya bisa secara langsung melalui droplet yang keluar saat pasien Mpox bersin, batuk atau berteriak. “Mpox juga bisa ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual, baik oral, vaginal maupun anal,” katanya.
Selain itu, Mpox juga bisa tertular secara tidak langsung. Penularan yang dimaksud ini adalah penularan melalui perantara. Eggi memberikan contoh droplet pasien yang jatuh dan menempel di benda-benda sekitar dan terpegang oleh orang lain. Tangan tersebut kemudian menyentuh mulut hidung atau mata, maka virus dapat tertular. Bahkan berbagi alat makan juga memungkinkan terjadinya penularan. “Karena penularan terjadi melalui droplet, maka penggunaan masker dan cuci tangan menggunakan sabun efektif untuk mencegah terjadinya penularan,” lanjut Eggi.
Tindakan pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar secara massak maka diperlukan pemberian vaksin yang menggunakan komponen utama yang sama dengan vaksin untuk variola. Meski demikian, berbeda dengan vaksin COVID-19, vaksin Mpox tidak diberikan secara massal untuk masyarakat. “Vaksin Mpox hanya diberikan kepada populasi khusus, kelompok orang-orang yang berisiko,” jelas dr. Eggi.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Freepik