Ancaman zoonosis, penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, terus menjadi isu kesehatan global yang membutuhkan respons cepat dan terintegrasi. Penguatan sistem pengawasan di wilayah berisiko, edukasi publik, hingga riset pengendalian dan penyembuhan menjadi kebutuhan mendesak agar potensi wabah dapat dicegah sejak dini.
Menjawab tantangan tersebut, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Asia Pacific Consortium for Veterinary Epidemiology (APCOVE) mengambil peran strategis dalam peningkatan kapasitas epidemiologi lapangan. Sebagai salah satu country partner, FKH UGM menyelenggarakan lokakarya ‘Activity 2 APCOVE: Study Design Workshop Field Epidemiology Training’ pada 17–21 November 2025. Kegiatan ini dirancang untuk memperkuat kemampuan dokter hewan di kawasan Asia Pasifik dalam merancang penelitian epidemiologi yang responsif terhadap kebutuhan lapangan.
Sebagai informasi, lokakarya ini diikuti oleh 20 peserta terpilih dari berbagai latar belakang. Seleksi dilakukan secara ketat dari 600 pendaftar berdasarkan kelulusan APCOVE Applied Field Epidemiology Online Training serta penilaian proposal proyek. Di FKH UGM, para peserta mempresentasikan proposalnya untuk ditelaah secara langsung oleh pakar internasional, antara lain Prof. Navneet Dhand (University of Sydney), Prof. Mieghan Bruce dan Dr. Andrew Larkins (Murdoch University).

Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, drh. Hendra Wibawa, M.Si., Ph.D., yang turut hadir dalam pembukaan kegiatan, menyampaikan bahwa lokakarya ini memiliki relevansi kuat dengan program nasional dalam peningkatan keselamatan manusia melalui pengendalian penyakit hewan. Ia menegaskan tiga poin penting yang menjadi fokus pembinaan proyek peserta. “Pertama, kami ingin memperkuat karakterisasi desain penelitian peserta sehingga rencana penelitian menjadi terukur. Kedua, kami berupaya menyelaraskan proyek peserta dengan prioritas nasional,” rincinya, Senin (17/11).
Lebih jauh, Hendra menekankan pentingnya penerapan pendekatan One Health dalam setiap penelitian epidemiologi. “Peserta perlu menampilkan juga dampak dari seluruh sektor, memikirkan implikasinya secara menyeluruh baik untuk kesehatan masyarakat maupun hewan serta kelestarian lingkungan,” jelasnya.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni FKH UGM, Prof. Dr. drh. Aris Haryanto, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya lokakarya ini. Menurutnya, APCOVE menyediakan platform penting bagi peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan kebijakan berbasis bukti di bidang kesehatan hewan. “Lebih dari aspek teknikal, lokakarya ini menjadi platform untuk meningkatkan kolaborasi antara profesional dengan institusi,” tuturnya.

Lokakarya ini menjadi ruang bagi para peserta untuk mempresentasikan proyek penelitian mengenai isu-isu kesehatan hewan yang bersifat kritis. Salah satunya adalah Akram Sumambang dari Pontianak, yang mengangkat analisis risiko rabies di Provinsi Kalimantan Barat pada periode 2015–2025. Ia menjelaskan bahwa penelitian tersebut berangkat dari munculnya kasus rabies pada manusia di Kabupaten Ketapang dan Melawi pada 2014, hanya sebulan setelah keluarnya Keputusan Menteri Pertanian RI No. 881 yang menetapkan Kalimantan Barat sebagai provinsi bebas rabies. “Pada pengamatan lebih lanjut, bahkan ditemukan penambahan korban. Pada rentang 2024–2025, terdapat 112 kabupaten dan 1 kota melaporkan kasus rabies, tentu ini sangat genting,” tambahnya.
Tingkat urgensi serupa diangkat oleh peserta dari Balai Veteriner Lampung, drh. Moh. Mutoyib, melalui proyek bertajuk ‘Epidemiological Investigation of African Swine Fever (ASF) Outbreak and Risk Factors Among Smallholder Pig Farms, East Lampung Regency’. Ia menyoroti minimnya data investigasi wabah ASF padahal wilayah tersebut merupakan area dengan risiko penularan yang tinggi.
Penulis/Foto: Aldi Firmansyah
Editor: Triya Andriyani
