Memasuki masa-masa kritis Pemilu 2024, money politics semakin banyak bermunculan. Fenomena yang digunakan para calon politik kerap muncul untuk menggaet suara dari masyarakat. Isu ini ditanggapi langsung oleh pakar politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, M.PP., dan Umi Illiyina, Pimpinan Badan Pengawas Pemilu, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam diskusi bersama media pada Selasa (13/1).
“Berdasarkan riwayat tahun 2019, dulu itu masih konvensional sekali. Kita pernah melakukan operasi tangkap tangan di Sleman senilai 1,2 miliar. Setelah sempat dibagi-bagikan, begitu sampai di Sleman kita tangkap jadi tidak sempat dibagikan (kembali). Tahun 2024, karena memang lima tahun kemudian teknologi semakin berkembang dan regulasi stagnan di tempat, mereka banyak memainkan celah-celah regulasi,” tutur Umi. Modus money politics saat ini tidak lagi mudah dideteksi seiring dengan kemudahan bertransaksi melalui platform digital. Bentuk-bentuk pemberiannya pun tidak terbatas hanya pada uang tunai saja, melainkan juga berupa benda dan jasa.
Umi menyebutkan, Indonesia bersama beberapa negara yang saat ini tengah menjalani pemilu juga turut merasakan keresahan akan money politics. Bahkan, di beberapa negara seperti Amerika Latin, money politics diberikan dalam bentuk saham. Modus-modus tersebut semakin berbahaya karena sulitnya regulasi mencakup semua praktik. Kasus money politics tahun ini terbukti banyak merugikan masyarakat, khususnya dalam hak pilih dan privasi data. Menurut Umi, partai politik memiliki kebebasan akses untuk mendapatkan data penduduk, seperti Nomor Induk Kependudukan dan nomor telepon.
“Mereka (partai politik) itu dengan mudah memiliki data penduduk, untuk membagikan amplop-amplop. Apalagi saat ini bentuk-bentuk money politics tidak hanya pada uang. Misalnya, kemarin sempat ada kasus pemberian hibah dalam bentuk jaminan haji dan umroh, sapi, cincin emas, barang-barang tersebut bagi partai tidak memberatkan. Tapi bagi masyarakat, itu adalah barang berharga yang sangat dibutuhkan,” papar Umi. Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri tercatat sebagai 10 besar provinsi rawan politik uang.
Bawaslu menganggap masa tenang adalah masa kritis yang perlu diwaspadai. “Mulai hari ini, hingga jam 9 malam. Kemudian dilanjutkan sampai pagi hari besok akan rawan serangan-serangan politik. Jadi kami harap, karena Bawaslu juga sumber dayanya terbatas, semoga masyarakat bisa berkomitmen untuk mengawal pemilu kita,” tambah Umi.
Selain money politics yang dilakukan oleh partai politik, dosen sekaligus pakar politik Fisipol UGM, Mada Sukmajati turut menanggapi isu kenaikan anggaran bantuan sosial menjelang Pemilu 2024. Pemberian bansos memang tidak melanggar aturan ataupun kewenangan pemerintah. Namun melonjaknya anggaran bansos sebelum pemilu menimbulkan kecurigaan terhadap adanya tujuan tertentu selain bantuan pada masyarakat.
“Sudah lama ini terjadi, dan memang tidak bisa diselesaikan. Selalu nanti masyarakat yang harus diedukasi. Jadi terima saja bansosnya, tapi hak pilih tetap berada pada rakyat. Walaupun masyarakat kita masih membutuhkan bantuan tersebut, dan masih melihat siapa yang memberi,” terang Mada. Secara praktis, politik uang hampir tidak bisa dihindari, namun akan selalu ada cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memberikan hak suaranya secara utuh tanpa dipengaruhi pihak manapun.
Pemilu 2024 yang dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024 menjadi salah satu tonggak demokrasi Indonesia. Masyarakat perlu menentukan siapa kandidat terbaik untuk menjadi pemimpin selama satu periode ke depan. Harapannya, pemilu dapat terlaksana secara adil, bebas, dan demokratis. “Garda terdepan pemilu kita adalah pemungutan suara besok, di sinilah tahapan krusial. Semua peserta pemilu pasti mengatakan biar rakyat yang menentukan. Tapi kalau tidak dikawal, nasihat-nasihat baik itu hanya bagian dari proses manipulasi,” pesan Mada.
Penulis: Tasya