
Sebanyak 60 peneliti dan inovator bidang Kecerdasan Artifisial (AI) dari berbagai fakultas dan unit kerja di lingkungn UGM membuka jejaring antar akademisi, praktisi, hingga pembuat kebijakan. Dengan semangat kolaborasi, UGM berupaya menjadikan AI sebagai alat transformatif dalam menjawab persoalan lokal maupun global, sekaligus memperkuat posisinya sebagai universitas riset kelas dunia.
Hal itu mengemuka dalam Meet and Greet: AI-Based Innovators and Researchers yang berlangsung di ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM, Rabu (30/4). Kegiatan yang diinisiasi oleh Biro Transformasi Digital (BTD) UGM ini menjadi ruang temu dan dialog antara para peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang memiliki ketertarikan dan pengalaman dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan.
Kepala BTD UGM, Dr. Mardhani Riasetiawan,M.T., mengatakan forum ini merupakan bagian dari ajang mempertemukan para inovator AI lintas fakultas, serta mendorong lahirnya kolaborasi-kolaborasi baru yang transdisipliner dan aplikatif. “Pendekatan ini diambil karena tantangan implementasi AI di dunia nyata seringkali melibatkan variabel kompleks yang tidak dapat dipecahkan oleh satu disiplin ilmu saja,” katanya
Lebih jauh, ia menekankan bahwa keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada sinergi antar disiplin dan keberanian untuk keluar dari silo keilmuan. Mardhani menggarisbawahi bahwa UGM berkeinginan untuk menjadi rumah bagi para inovator digital yang mampu merancang solusi berbasis AI yang inklusif dan kontekstual. Menurutnya, pengembangan AI di perguruan tinggi tidak bisa semata-mata mengikuti tren teknologi, tetapi harus menjawab kebutuhan riil masyarakat. “Kita perlu memastikan bahwa AI bukan hanya pintar, tetapi juga bijaksana,” tambahnya.
Peneliti AI dari Fakultas Teknik UGM. Prof. Dr. Eng Sunu Wibirama, S.T., M.Eng memaparkan riset terkait integrasi AI dan sensor dalam pengembangan smart healthcare system. Salah satu proyek yang ia kerjakan adalah sistem pemantauan kesehatan berbasis ekspresi mata. “Kami sedang mengembangkan teknologi yang dapat mendeteksi kelelahan atau stres hanya dari pola gerakan mata,” jelas Sunu.
Menurutnya, proyek ini berpotensi diaplikasikan untuk pemantauan pekerja industri, pengemudi, hingga tenaga medis. Dengan menggabungkan AI, sensor optik, dan perangkat IoT, timnya berupaya menghadirkan solusi yang real-time dan responsif terhadap kondisi fisik maupun emosional pengguna. Sunu menekankan pentingnya kolaborasi antara periset teknik dengan ahli dari bidang kedokteran, psikologi, dan ergonomi. “Kunci keberhasilan inovasi bukan hanya teknologi, tetapi pemahaman mendalam terhadap konteks penggunaannya,” ujarnya.
Sementara Lutfan Lazuardi, MPH., Ph.D dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM melanjutkan diskusi dengan menyoroti peran AI dalam pengelolaan big data kesehatan dan pengambilan kebijakan berbasis data. Menurutnya, era digital menuntut pemangku kepentingan di bidang kesehatan untuk mampu membaca pola data secara cerdas dan cepat. “AI memungkinkan kita menemukan insight dari data yang tidak terlihat oleh analisis konvensional,” katanya.
Namun, tantangan terbesar bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada integrasi data antar institusi dan kesiapan kebijakan. Ia mendorong adanya forum bersama antara peneliti AI, penyusun kebijakan, dan tenaga lapangan agar tercipta ekosistem yang lebih selaras. Lutfan juga menyebut bahwa UGM memiliki peluang besar menjadi pionir dalam pengembangan AI-based policy simulator yang dapat digunakan oleh kementerian dan lembaga lainnya. Dengan dukungan data dan keahlian multidisiplin, UGM dapat menciptakan dampak nyata bagi sistem pelayanan kesehatan nasional. “Untuk dapat diadopsi secara luas, solusi AI harus kompatibel dengan sistem yang sudah ada dan disusun bersama dengan regulator,” jelasnya.
Dari sisi rekayasa sistem dan pengembangan riset internal, Dr. Raden Sumiharto, S.Si., M.Kom dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM juga turut membagikan strategi kolaboratif yang sedang ia kembangkan bersama tim. Ia menyoroti bahwa banyak riset AI di UGM berkembang secara terpisah, sehingga belum terkoordinasi secara sistematis. Ia mengusulkan pembentukan basis data terbuka riset AI UGM yang mencatat tema riset, mitra kolaborasi, serta teknologi yang digunakan. “Kita butuh platform integratif yang bisa mempertemukan pakar IT dengan ahli domain,” katanya.
Menurutnya, hal ini dapat mempermudah mahasiswa dan dosen lintas fakultas untuk terlibat dalam proyek AI yang sedang berjalan. Sumiharto juga menyambut baik adanya sesi matchmaking dalam acara ini yang diharapkan dapat melahirkan kolaborasi-kolaborasi baru lintas laboratorium dan fakultas. Dengan dukungan kelembagaan, kolaborasi ini dapat didorong untuk masuk ke skema pendanaan kompetitif, baik di level nasional maupun internasional.
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Multimedia I Gedung Pusat UGM ini juga turut menghadirkan dr. Eric Tenda Daniel, Ph.D., SpPD FINASIM dari Kementerian Kesehatan RI. Eric yang juga melakukan praktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ini memberikan pemaparan dengan topik pemanfaatan AI dalam dunia medis. Ia menyampaikan bagaimana AI dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam proses diagnosis penyakit. “AI bukan sekadar alat bantu, melainkan mitra kerja klinis. Dengan AI, kita bisa meningkatkan akurasi diagnosis dan mempercepat pengambilan keputusan klinis,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sistem kesehatan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal pemerataan layanan. Di sinilah AI dapat berperan penting, terutama dalam memperluas akses terhadap diagnosis dini di wilayah-wilayah terpencil. Dalam praktiknya, AI bahkan telah diterapkan untuk mendeteksi penyakit kronis dengan tingkat akurasi yang semakin mendekati dokter spesialis. Namun demikian, Eric juga mengingatkan bahwa adopsi AI di sektor kesehatan harus memperhatikan aspek etika, privasi data, dan kesiapan tenaga medis. “Transformasi digital dalam layanan kesehatan tidak cukup dengan kecanggihan teknologi, tetapi juga memerlukan transformasi budaya organisasi,” pungkasnya.
Dr. Ririn Tri Nurhayati, S.IP., M.Si, M.A dari Direktorat Penelitian menutup sesi pemaparan dengan mengangkat isu strategis tentang peluang pendanaan riset AI. Ia mengungkapkan bahwa lembaga donor saat ini sangat terbuka terhadap proposal AI yang aplikatif dan berdampak sosial. Ia juga menekankan pentingnya peran universitas dalam mendampingi peneliti menyiapkan proposal yang kuat. Ia berharap, forum seperti ini dapat menjadi titik awal dari proyek-proyek unggulan berbasis AI yang lahir dari semangat gotong royong dan visi jangka panjang. “Kami dari Direktorat Penelitian siap menjadi fasilitator. Tapi ide-ide besar itu harus datang dari para peneliti di lapangan,” tegasnya.
Forum pertemuan para peneliti AI ini kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi, matchmaking, serta lunch networking break. Melalui forum ini, UGM berharap dapat menyusun peta jalan transformasi digital lima tahun ke depan, yang didukung oleh riset-riset berbasis AI yang konkret dan solutif. Kolaborasi antardisiplin, pendampingan kelembagaan, dan dukungan ekosistem menjadi tiga pilar utama yang terus diperkuat.Dengan semangat sinergi, UGM terus menapaki jalur transformasi digital, memperkuat identitasnya sebagai universitas yang tak hanya unggul secara akademik, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman dan berdampak luas bagi masyarakat.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie