
Batik merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang sarat nilai filosofi serta memiliki keterkaitan erat dengan identitas nasional. Bukan hanya sebagai produk tekstil, tetapi sebagai karya seni, dan juga sebagai bentuk ekspresi budaya. Menurunnya minat generasi muda untuk menjadi pembatik dan tingginya biaya produksi, menjadi tantangan yang dihadapi industri batik. Oleh karena itu, teknologi dapat menjadi jembatan bagi generasi muda agar kembali tertarik pada dunia batik.
Hal itu mengemuka dalam Workshop UMKM Class Series #32 yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) yang bertajuk “Mempertahankan Motif Batik Klasik dengan Teknologi”, Kamis (23/10), di ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM.
Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Paku Alam atau akrab disapa Gusti Putri, menyampaikan bahwa batik bukan sekadar tekstil, melainkan karya seni dan ekspresi jiwa. Sehingga diperlukan upaya pelestarian motif batik sebagai warisan budaya. Ia juga menyebutkan empat kategori utama motif batik yang ada di DIY, yakni motif Parang dan Lereng, Ceplok dan Kawung, Semen dan Lumbungan, serta motif batik Nitik.
Sebagai seorang pembatik sekaligus pelestari budaya, Gusti Putri mengaku ia sering menciptakan batik berdasarkan naskah-naskah kuno leluhur Pura Pakualaman. Ia juga membuat batik sendiri ketika ada acara seperti pernikahan anak-anaknya. “Contohnya batik bertema Batara Suryo yang menggambarkan matahari dan simbol kepemimpinan yang memberi terang bagi rakyat. Selain itu, ada pula batik Batara Indra, yang melambangkan kebijaksanaan dan pendidikan,” ujarnya.
Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM, sekaligus penggagas Jogja Heritage Society, Dr. Laretna Trisnantari Adhisakti, mengatakan perlu ada strategi dan kebijakan dalam mendorong industrialisasi batik dalam dinamika busana modern. Ia menyampaikan dua fokus utama yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan dunia kampus, yakni penguatan peran UMKM dan dukungan akademisi dalam mendorong pelestarian batik. “Sebagai akademisi, kami telah mengembangkan kurikulum summer course bertema praktik (batik) yang diikuti peserta dari seluruh dunia secara daring,” katanya.
Ia juga membahas peran teknologi dalam konteks pelestarian. Teknologi bisa menjadi ancaman bila tidak sesuai dengan karakter lokal, namun juga bisa menjadi peluang bila dimanfaatkan dengan tepat. “Dalam world heritage sites, penggunaan teknologi ini perlu disesuaikan lagi dengan konteks lokal agar tidak merusak nilai warisan,” paparnya.
Andi Sudiarso, Ph.D., dari Departemen teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM mengatakan pemanfaatan teknologi proses membatik bukan dimaksudkan untuk menggantikan proses manual, melainkan untuk melengkapi dan meningkatkan efisiensi produksi batik tanpa menghilangkan nilai tradisionalnya. “Membatik bisa dilakukan dengan cara modern tanpa meninggalkan nilai budaya. Justru dengan teknologi, batik dapat berkembang dan dikenal lebih luas,” katanya.
Sebagai penutup, Andi menyampaikan bahwa integrasi antara kearifan lokal dan teknologi digital akan menjadi kunci keberlanjutan batik di era modern. Melalui usaha batik miliknya yakni Batik Budimo, ia juga telah mengembangkan sistem Smart Factory Batik 4.0 yang memungkinkan kolaborasi global dalam desain batik, sementara proses pembuatannya tetap terpusat di Indonesia. “Melalui inovasi ini, kami ingin menjadikan batik tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai bagian dari industri kreatif masa depan yang berdaya saing tinggi,” tutupnya.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Dr. dr. Rustamaji, M.Kes., mengaskan Universitas Gadjah Mada senantiasa mendorong kontribusi nyata bagi pelestarian budaya bangsa serta penguatan peran UMKM sebagai penggerak ekonomi nasional. Menurutnya, batik bukan hanya sebagai tekstil, tetapi sebagai karya seni, dan juga sebagai bentuk ekspresi budaya Indonesia.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie