Pertumbuhan ekonomi digital RI pada tahun 2030 diperkirakan tumbuh pesat dengan kontribusi ekonomi mencapai 366 miliar dolar Amerika Serikat. Namun potensi pertumbuhan ekonomi digital ini dipengaruhi sejauh mana pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial (AI) di sektor industri. Oleh karena itu diperlukan peraturan perundang-undangan yang lebih mengikat soal tata kelola penggunaan AI agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik yang bertajuk Kebutuhan Mengembangkan Regulasi Tata Kelola Kecerdasan Artifisial di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM, Jumat (8/3). Diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM bekerja sama dengan Kominfo dan ELSAM ini menghadirkan pembicara kunci Wamenkominfo Nezar Patria, Dekan Filsafat UGM Dr. Siti Murtiningsih, Direktur Government Relations Microsoft Indonesia and Brunei Darussalam, Ajar Edi, Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar, dan Kepala Prodi Magister Kecerdasan Artifisial FMIPA UGM Afiahayati, Ph.D.,
Wamenkominfo, Nezar Patria, mengatakan untuk saat ini kontribusi ekonomi digital pada GDP masih dibawah 10 persen, namuan dari hasil sejumlah studi diperkirakan pertumbuhan ekonomi digital RI akan meningkat pesat hingga 366 miliar dolar Amerika Serikat pada tahun 2030. “Dibandingkan di Asia Tenggara pertumbuhanya bisa mencapai 1 triliun dolar maka kontribusi ekonomi digital memberikan kontribusi hampir 40 persen,” katanya.
Pertumbuhan ekonomi digital ini sedikit banyak dipengaruhi oleh masifnya pemanfaatan teknologi AI di sektor industri sehingga Kominfo mengeluarkan surat edaran soal panduan etik penggunaan AI sejak bulan Desember 2023 lalu yang ditujukan pada pengemban AI dan sektor industri. “Panduan ini dapat membantu dari sisi aspek etis karena ada dampak sosial, ekonomi, dan budaya dari AI,” katanya.
Surat edaran ini menurut Wamen memang tidak bisa memberikan sanksi hukum karena belum ditindaklanjuti pada peraturan perundang-undangan karena pemerintah masih menunggu dan memantau pertumbuhan AI di sektor industri di tanah air. “Kita masih bergerak di soft regulation dengan mencermati pertumbuhan AI di sektor industri. Prinsipnya, kita ingin mengambil manfaat sebesar-besarnya namu juga memitigasi risiko yang muncul,” jelasnya.
Beberapa resiko yang kemungkinan akan muncul sebagai dampak penggunaan AI menurut Wamen diantaranya besarnya kemungkinan penyalahgunaan AI untuk memicu diskriminasi sosial hingga munculnya produk disinformasi yang bisa memberikan dampak pada harmonisasi sosial.
Selain memberikan panduan etika penggunaan AI di sektor industri, Kominfo juga mendorong lahirnya talenta digital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dalam rentang lima hingga enam tahun ke depan. “Kita membutuhkan 9 juta talenta digital,” katanya.
Siti Murtiningsih mengatakan di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat maka kehadiran teknologi AI menimbulkan tantangan etis. Oleh karena itu perkembangannya harus sejalan dengan nilai moral dan etika di masyarakat, serta tidak merugikan dari sisi aspek kemanusiaan.
Menurutnya diperlukan instrumen hukum yang lebih mengikat bagi semua kepentingan masyarakat dan industri terkait dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan. “Kita perlu menyusun Undang-Undang terkait prinsip etis AI dari pandangan lintas keilmuan,” ujarnya.
Sementara Ajar Edi menuturkan sebenarnya banyak miskonsepsi tentang AI di tengah masyarakat namun bagi para eksekutif dan staf di perusahaan, pemanfaatan AI digunakan untuk mendukung tugas dan pekerjaan yang memberikan efisiensi dan efektifitas waktu kerja. “Meski ada potensi bias namun untuk memastikan sebuah keputusan, manusialah selaku pemegang keputusan yang paling tepat,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto: Donnie