
Sektor kehutanan saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam persoalan deforestasi, degradasi lahan, dan perubahan iklim global yang berdampak nyata pada ekosistem. Padahal Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060. Sebuah target ambisius yang hanya dapat dicapai apabila sektor kehutanan dan perubahan lahan memainkan peran strategis. Hal itu mengemuka dalam Seminar Nasional bertajuk “Reinventing Pendidikan Tinggi Kehutanan: Ilmu dan Desain Pendidikan Kehutanan Masa Depan, kamis (16/10) di Auditorium fakultas Kehutanan UGM.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Ir. Sigit Sunarta, S.Hut., M.P., M.Sc., Ph.D., mengatakan UGM sebagai universitas yang mengemban amanah kebangsaan, berkomitmen menjadikan pendidikan kehutanan sebagai lokomotif transformasi nasional menuju pembangunan berkelanjutan. Pasalnya, saat ini kehadiran disrupsi teknologi dan kecerdasan buatan (AI) menjadi faktor penting yang tidak dapat diabaikan. Teknologi, menurutnya, bukan sekadar alat, tetapi pengubah paradigma dalam tata kelola sumber daya alam, pemetaan, monitoring lingkungan, hingga pengelolaan sosial-ekologis secara real time. “Pendidikan tinggi kehutanan harus berevolusi. Kita tidak hanya menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu ekologis, silvikultur, atau kebijakan kehutanan, tetapi juga harus adaptif, transformatif, dan peka terhadap keadilan sosial, keberlanjutan ekonomi, serta perkembangan teknologi informasi,” tegasnya.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama (PPUKS) Dr. Danang Sri Hadmoko, menegaskan bahwa di tengah krisis iklim, kehilangan biodiversitas, degradasi lahan, polusi, serta ketegangan sosial-ekonomi, jawaban penting bagi masa depan adalah menjaga hutan yang lestari. “Kata kuncinya sederhana, hutan yang lestari. Namun di balik dua kata itu, terdapat banyak tantangan, terutama di dunia pendidikan tinggi,” ujarnya.
Prof. San Afri Awang, Ketua Senat Fakultas Kehutanan UGM, menyoroti perlunya reinventing pendidikan kehutanan karena adanya perubahan konteks sosial-ekologis, konflik sosial, perubahan iklim, dan isu keadilan lingkungan. Ia menekankan pentingnya integrasi pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan transdisipliner, serta membentuk rimbawan kolaboratif yang mampu bekerja lintas bidang dan memahami kompleksitas sosial-ekologi kehutanan modern.
Konsep penting yang diperkenalkan Prof. San Afri adalah tantangan “posrealitas” (post-reality). Ia menjelaskan bahwa dunia kini tidak hanya menghadapi post-truth, tetapi juga telah masuk ke era AI, dunia maya, simulasi, dan realitas buatan (artifisial). “Dunia posrealitas ini melampaui realitas alami, kita bisa melihat hutan secara digital, seolah baik, padahal mungkin rusak di lapangan. Dunia kehutanan harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam manipulasi data dan simulasi digital, serta tetap berpegang pada realitas ekologis yang nyata,” katanya.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan dua pilar utama pengembangan ilmu kehutanan. Pertama, filsafat hidup, yakni dengan membangun kesadaran individu dan masyarakat untuk hidup selaras dengan alam dan hutan. Kedua, filsafat akademik untuk membentuk konstruksi ilmu yang khas Indonesia, berbasis kebudayaan dan pengalaman ekologis lokal. “Sayangnya, masyarakat dan pemimpin di Indonesia belum menempatkan hutan sebagai hal penting, kecuali Kementerian Kehutanan sendiri,” ujarnya.
Drh. Indra Exploitasia, M.Sc., Kepala BP2SDM Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, menekankan pentingnya transformasi paradigma pengelolaan sumber daya manusia (SDM) kehutanan dari sekadar sistem pendukung menjadi sistem inti dalam tata kelola kehutanan nasional. Menurutnya, pendidikan dan pelatihan tidak boleh lagi dianggap hanya sebagai pelengkap, melainkan harus menjadi bagian utama dari proses bisnis kehutanan yang berorientasi pada hasil nyata di lapangan. Transformasi ini diusung melalui semangat learn, unlearn, dan relearn dengan mengintegrasikan pembelajaran berkelanjutan dan pengalaman praktis. “Kami tidak ingin hanya sebagai supporting system. Kami ingin menjadikan pendidikan dan pelatihan ini sebagai sistem inti dalam proses bisnis pengelolaan kehutanan di Indonesia,” ujarnya.
Indra juga menegaskan perlunya perubahan cara pandang bahwa manusia dan hutan adalah aset bangsa, bukan sekadar komoditas. Ia menjelaskan bahwa BP2SDM tengah membangun konsep corporate university untuk mengintegrasikan seluruh proses pendidikan dan pelatihan di Kementerian Kehutanan serta memperkuat link and match dengan perguruan tinggi. Transformasi ini diharapkan dapat melahirkan “Forestry Human Excellence”, yakni SDM kehutanan yang kompeten, berintegritas, inovatif, kolaboratif, dan berpikir berkelanjutan.
Pada kesempatan yang sama, Ir. Soni Trison dari perwakilan Foretika (Forum Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia) menekankan pentingnya memperkuat kolaborasi antar perguruan tinggi kehutanan di Indonesia untuk menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, degradasi lingkungan, dan kesenjangan kapasitas antar kampus. Ia menyoroti bahwa pendidikan kehutanan harus berperan bukan hanya sebagai institusi akademik, tetapi juga sebagai aktor strategis dalam diplomasi lingkungan dan inovasi teknologi hijau. “Kita tidak hanya mencetak sarjana kehutanan sebagai barang, tetapi sesuatu yang akan terus berkembang,” ujar Soni.
Sedangkan Aditya Bayunanda, dari WWF Indonesia juga menyoroti adanya penurunan jumlah tenaga kerja di sektor formal kehutanan sejak 2015, namun di sisi lain kebutuhan kompetensi di bidang keberlanjutan justru meningkat pesat seiring regulasi seperti POJK No. 51 Tahun 2017 yang mewajibkan seluruh perusahaan publik menyusun sustainability report. Hal ini membuka peluang besar bagi lulusan kehutanan untuk berperan dalam sektor hijau, tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga di dunia usaha dan LSM.
Namun, ia menyoroti masih adanya adanya kesenjangan keterampilan, banyak lulusan masih berfokus pada keilmuan konvensional dan belum menguasai teknologi digital, soft skills, maupun kewirausahaan. Kebutuhan masa depan menuntut lahirnya “Forester 5.0”, yaitu rimbawan yang berpikir ilmiah, memiliki empati sosial, serta tangkas berinovasi dalam isu-isu karbon, keanekaragaman hayati, dan sosial masyarakat. Ia juga mengajak perguruan tinggi untuk menjadikan kampus sebagai “living forest” atau laboratorium hidup yang mengintegrasikan ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum, serta membuka ruang magang di LSM untuk melahirkan generasi rimbawan berjiwa kepemimpinan hijau.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto