
Sedikitnya 15–20% populasi dunia dan lebih dari 10% komunitas perguruan tinggi hidup dengan disabilitas, kebutuhan akan perubahan sistemik dinilai semakin mendesak. Dalam hal ini, Universitas 21 (U21), jejaring universitas global terkemuka termasuk Universitas Gadjah Mada, secara resmi meluncurkan laporan pemetaan global pertama terkait inklusi disabilitas di pendidikan tinggi bertajuk U21 Disability Inclusion Mapping Project. Laporan ini disusun oleh Profesor Paul Harpur dari The University of Queensland bersama dengan 30 rekan penulis dari berbagai universitas anggota U21.
Laporan U21 Disability Inclusion Mapping Project ini menggarisbawahi empat area prioritas yang dinilai krusial dalam memperkuat inklusi disabilitas di perguruan tinggi, yaitu: mengadopsi desain universal dalam pendidikan, membuka akses terhadap Work-Integrated Learning (WIL), melibatkan disabilitas dalam riset melalui metode co-design, meningkatkan transparansi pelayanan disabilitas bagi mahasiswa internasional.
Dalam laporan ini, UGM yang diwakili oleh Dr. Wuri Handayani, Ketua Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM turut berkontribusi dalam dua sub-bab laporan, yakni sub-bab berjudul Universities acting collectively to champion disability inclusion dan System Change: From reasonable adjustments to universal design. “Kami diminta mengisi kuesioner kualitatif yang berisi pertanyaan seputar kebijakan, pelaksanaan, dan tantangan dalam mendukung mahasiswa disabilitas di kampus. Dari situ, U21 menyusun laporan dan memberi kesempatan bagi kami untuk memilih bagian yang ingin dianalisis lebih lanjut,” terangnya, senin (23/6).
Wuri menuturkan bahwa proses keterlibatannya bermula dari ajakan bergabung dalam konsorsium EDI (Equity, Diversity, and Inclusion) U21. Ia kemudian menjalin komunikasi intensif dengan Professor Harpur dari University of Queensland, penulis utama laporan, guna menelaah dan memperkuat narasi laporan berdasarkan praktik nyata di UGM. Salah satu kontribusi penting yang disampaikan UGM adalah sistem layanan bagi mahasiswa disabilitas yang diterapkan ULD. Di antaranya, mahasiswa disabilitas diminta untuk menyatakan status mereka sejak awal agar dapat dilakukan asesmen kebutuhan secara individual. Setelah itu, ULD merancang akomodasi pembelajaran yang layak dan sesuai.
Tidak hanya bagi mahasiswa, perhatian terhadap disabilitas di UGM juga mulai diarahkan kepada dosen dan tenaga kependidikan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Rektor mengenai pembentukan ULD yang mencakup dukungan bagi seluruh sivitas akademika, bukan hanya mahasiswa. Namun, Wuri mengakui bahwa dukungan bagi staf penyandang disabilitas di UGM masih perlu ditingkatkan. “Kita perlu memiliki data yang akurat dan lengkap mengenai keberadaan dosen dan tenaga kependidikan penyandang disabilitas. Disabilitas ini bukan hanya kondisi sejak lahir, bisa muncul kapan saja, sehingga pendekatannya harus inklusif dan dinamis,” ujarnya.
Profesor Harpur, pakar internasional di bidang hak disabilitas dan kebijakan pendidikan tinggi yang juga menjabat sebagai Ketua Bersama U21 Disability Community of Practice dan anggota U21 Equity, Diversity, and Inclusion (EDI) Working Group, menyampaikan laporan ini menyatukan pandangan dari berbagai negara untuk melihat posisi penyandang disabilitas saat ini, kesenjangan yang masih ada, serta langkah-langkah yang dapat diambil secara kolektif. Ini bukan sekadar potret sesaat, tetapi seruan untuk bertindak. “Universitas membuka jalan bagi individu untuk berkembang dan menyediakan sumber daya manusia bagi pertumbuhan ekonomi bangsa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Provost U21, Professor Jenny Dixon, menyampaikan bahwa laporan ini mencerminkan semangat kolaboratif dan komitmen global U21 dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang adil dan inklusif. “Laporan ini tidak hanya menyoroti capaian yang telah diraih, tetapi juga menyajikan peta jalan yang jelas untuk perbaikan ke depan. Kami sangat menghargai kerja keras Profesor Harpur dan seluruh kontributor yang telah memberikan kontribusi besar dalam mendorong perubahan positif di pendidikan tinggi global,” ujar Dixon.
Melalui keterlibatan staf akademik dan profesional dari 30 universitas anggota U21, laporan ini memetakan kebijakan serta praktik terbaik terkait inklusi disabilitas dalam bidang riset, pembelajaran, dan kehidupan kampus. Selain mengidentifikasi tantangan umum yang dihadapi sivitas akademika penyandang disabilitas, laporan ini juga menyajikan contoh pendekatan inovatif, serta memberikan rekomendasi yang dapat diterapkan di berbagai konteks institusi pendidikan tinggi di dunia.
Laporan ini juga dibuat untuk menjadi rujukan penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan tinggi untuk meningkatkan kesadaran dan praktik inklusif di lingkungan masing-masing. Laporan U21 Disability Inclusion Mapping Project kini juga dapat diakses dan diunduh melalui situs resmi U21.UGM mengharapkan bahwa publikasi ini dapat menjadi sumber informasi berharga bagi pimpinan universitas, akademisi, serta advokat mahasiswa dalam membangun masa depan pendidikan tinggi yang lebih setara dan inklusif.
Wuri berharap laporan ini menjadi awal dari kerja bersama lintas kampus dalam membangun lingkungan pendidikan tinggi yang lebih inklusif. Ia menekankan pentingnya berbagi praktik baik antar universitas dan menjadikannya sebagai acuan untuk meningkatkan layanan masing-masing. “Setiap kampus punya kondisi dan sumber daya berbeda. Tapi kita bisa belajar dari kampus lain, menggunakan praktik baik sebagai benchmark, lalu menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kapasitas kita. Tujuannya sama: menciptakan kampus yang ramah dan inklusif bagi semua,” harapnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto. : Freepik