Malaria merupakan salah satu penyakit endemik yang masih mengintai masyarakat Indonesia. Penyakit infeksi menular yang menyebar lewat gigitan nyamuk Anopheles betina ini sempat mengalami penurunan signifikan di tanah air pada rentang 2010-2014, stagnan di tahun 2015 dan mulai mengalami kenaikan di tahun 2019 hingga 2022.
Guru Besar bidang Parasitologi FKKMK UGM, Prof. dr. E. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes., Ph.D., menyampaikan beragam tantangan dalam eliminasi malaria di Inonesia. Ada tiga faktor utama yang berhubungan, yang situasinya tidak seimbang sehingga menyebabkan terjadinya malaria yakni faktor agent (penyebab), host (tuan rumah/penjamu), dan lingkungan.
“Munculnya kontributor baru dalam tiap faktor tersebut membuat pengendalian malaria semakin mengalami tantangan,”jelasnya saat menyampaikan pidatonya saat dikukuhan sebagai guru besar, Kamis (25/1) di Balai Senat UGM.
Dalam pidato yang berjudul Pengendalian Malaria di Indonesia: Berbasis Riset Laboratorium Menuju Implementasinya di Lapangan, Elsa menuturkan bahwa pemerintah telah menyiapkan Rencana Aksi Nasional Percepatan Eliminasi Malaria 2020-2026 menuju eliminasi malaria 2030. Ada lima intervensi utama yaitu memastikan akses universal untuk pencegahan, diagnosis, dan pengobatan malaria, mempercepat pencapaian status bebas malaria dan memelihara status bebas malaria, dan mentransformasikan surveilans malaria menjadi intervensi utama. Lalu, menciptakan lingkungan yang mendukung eliminasi malaria dengan memperkuat kapasitas sistem kesehatan, mobilisasi komitmen politik, mobilisasi masyarakat dan peningkatan dukungan kemitraan, dan meningkatkan pelayanan dengan memanfaatkan inovasi dan penelitian.
“Sebagai seorang akademisi dan peneliti di bidang parasitologi, kami mencoba untuk berkontribusi melalui inovasi dan penelitian, sehingga dapat diimplementasikan dalam bentuk-bentuk intervensi yang telah ditetapkan secara nasional tersebut,”tuturnya.
Belajar dari pandemi COVID-19, pemerintah banyak terbantu dengan berpartisipasinya digital health provider dalam melakukan konseling, telekonsultasi untuk pasien maupun suspek COVID. Start-up atau providers kesehatan diharapkan tidak hanya mendukung dalam hal COVID, tetapi juga dalam setiap masalah kesehatan, termasuk malaria. Namun, dalam masa bukan pandemik, regulasi yang ada belum memayungi provider digital health dari aspek hukumnya.
“Dari sini, tim kami, dengan dukungan RISPRO LPDP, berusaha mengawal tata kelola regulatory sandbox bersama dengan tim Kerja Malaria Kementrian Kesehatan RI, dan Association Health Indonesia serta akademisi dari berbagai disiplin ilmu selain kedokteran, yaitu hukum, teknik elektro,CFDS dan praktisi,”paparnya.
Regulatory sandbox, memberikan ruang eksperimen terkendali bagi berbagai pemangku kepentingan, dan memungkinkan pengujian teknologi baru yang dikembangkan oleh provider/start-up dalam hal diagnosis, penjaminan mutu diagnosis malaria, pengobatan, surveilans, e-learning, dan sebagainya. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan pemerintah untuk menguji kebijakan-kebijakan baru terkait eliminasi malaria tanpa menghadapi kendala regulasi yang ketat. Dengan begitu, dapat mengidentifikasi dampak potensial dan membuat penyesuaian sebelum implementasi luas.
“Saat ini klinisi, praktisi kesehatan yang bekerja dalam digital health telah memberikan kontribusinya. Namun, perlu ruang untuk mengakomodasi ide-ide dan mengimplementasikannya sesuai kaidah ilmiah, etika, safe dan secure,”ucapnya.
Elsa mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, uji coba Regulatory Sandbox e-Malaria telah diadopsi dan di-scale up oleh Kementerian Kesehatan dalam bentuk Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/1280/2023 tentang Pengembangan Ekosistem Digital Kesehatan melalui Regulatory Sandbox. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan telah menerapkan sistem Regulatory Sandbox untuk menguji coba beraneka inovasi kesehatan digital dalam negeri, dimulai dari sektor telemedicine.
“Semoga, ke depan regulatory sandbox ini dapat menjadi solusi inovatif yang bermanfaat bagi semua,”harapnya.
Penulis: Ika
Foto: Firsto