Prof. Pramaditya Wicaksono, S.Si., M.Sc., berhasil menorehkan namanya dalam sejarah UGM sebagai guru besar termuda di usia 35 tahun 11 bulan.
Prama secara resmi menerima SK Pengangkatan Guru Besar bidang Penginderaan Jauh Biodiversitas Pesisir di Fakultas Geografi UGM pada 1 Juni 2023. Lalu, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Penginderaan Jauh Biodiversitas Pesisir di Fakultas Geografi UGM pada Selasa (13/2) di Balai Senat UGM.
Pria kelahiran Semarang, 6 Juli 1987 ini menjadi guru besar termuda di UGM dengan memecahkan rekor sebelumnya yang dipegang Prof. Agung Endro Nugroho meraih jabatan guru besar di usia 36 tahun 9 bulan.
Prama menyelesaikan pendidikan S1 program studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM pada tahun 2008 dengan masa studi 3 tahun 11 bulan. Lalu, melanjutkan pendidikan S2 Geografi/MPPDAS Fakultas Geografi UGM tahun 2008-2010 dengan memanfaatkan Beasiswa Unggulan Dikti. Kemudian berhasil menyelesaikan pendidikan S3 Geografi/Penginderaan Jauh, Joint Program Fakultas Geografi UGM dan ITT TH Koeln, Jerman di tahun 2015 dengan beasiswa program CNRD (Centers for Natural Resources and Development) melalui pendanaan dari DAAD Jerman.
Dalam pidato pengukuhan Guru Besar yang berlangsung Selasa (13/2) di Balai Senat UGM, Prama memaparkan terkait pemetaan dan pemantauan padang lamun menggunakan metode penginderaan jauh. Metode ini menjadi solusi paling efektif dan efisien dalam melakukan pemetaan dan pemantauan untuk memahami secara komperehensif kondisi spasial dan temporal ekosistem padang lamun.
Prama memaparkan bahwa Indonesia memiliki potensi padang lamun mencapai 1.847341 hektare, tetapi hanya 294.464 hektare yang telah terverifikasi. Padang lamun ini memiliki beragam fungsi ekonomis dan ekologis serta berdampak krusial dalam menjalankan konsep ekonomi biru. Ia mencontohkan padang lamun memberikan dukungan bagi sekitar 20% dari industri perikanan terbesar di dunia dengan nilai diperkirakan mencapai 200 juta Euro per tahun hanya di kawasan Mediterania. Lalu, padang lamun juga berperan sebagai penyimpan karbon (carbon sink) dengan kapasitas tinggi dalam menyerap karbon jangka panjang melalui penimbunan karbon yang sangat efektif yakni lebih dari 10 kali lipat lebih efisien dibandingkan dengan ekosistem di daratan
“Meskipun hanya menempati 0,1% dari luas laut, padang lamun mampu menampung sekitar 18% dari total karbon yang terserap oleh lautan di bumi,”terangnya.
Perlindungan dan pengelolaan ekosistem padang lamun yang berkelanjutan menjadi salah satu kunci kesuksesan implementasi konsep blue economy dan berperan dalam mendukung pencapaian sejumlah target global SDGs. Meski memiliki peran vital, padang lamun menjadi salah satu ekosistem pesisir yang minim mendapat perlindungan. Data UNEP, 20220 mencatat sejak tahun 1980, kerusakan padang lamun global mencapai 58%, dengan luasan yang hilang setara dengan lapangan sepak bola setiap 30 menit. Oleh karena itu, data dan informasi terkait ekosistem padang lamun menjadi krusial, terutama dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.
“Dalam upaya mengelola padang lamun serta memaksimalkan perannya sebagai nature-based solutions dalam proses adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, langkah awal yang krusial adalah memahami pola sebaran spasial dan temporal dari padang lamun. Penggunaan teknologi penginderaan jauh telah terbukti sebagai metode paling efektif dan efisien dalam pencapaian langkah ini,”urainya.
Prama menyebutkan model penginderaan jauh yang optimal untuk pemetaan biodiversitas ekosistem padang lamun perlu mempertimbangkan variasi temporal dari ekosistem padang lamun yang dipetakan. Variasi temporal dalam ekosistem padang lamun ini bersifat unik untuk setiap wilayah, bergantung pada komposisi spesies dan kondisi habitatnya. Oleh karena itu, proses pemetaan untuk memahami dinamika karbon biru pada padang lamun sebaiknya tidak hanya dilakukan setahun sekali, melainkan sebaiknya dilakukan secara bulanan, dwibulanan, atau minimal secara musiman.
Lebih lanjut ia mengatakan analisis terhadap perubahan tutupan padang lamun tidak dapat dilakukan apabila data atau peta yang digunakan untuk analisis diperoleh dari bulan atau musim yang berbeda. Sebab, hal tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat dan berpotensi memengaruhi pengambilan keputusan serta strategi pengelolaan yang relevan. Untuk itu, diperlukan konsistensi dalam pengumpulan data dan pemetaan pada interval waktu yang sesuai. Selain itu, untuk mencapai akurasi tinggi dan mendapatkan peta biodiversitas ekosistem padang lamun yang representatif terhadap kondisi sebenarnya di permukaan bumi, skema klasifikasi untuk pemetaan perlu disusun dengan mempertimbangkan resolusi dan kemampuan data penginderaan jauh yang digunakan.
Penulis: Ika
Foto: Donnie