
Universitas Gadjah Mada kembali mengukuhkan tiga orang dosen dari Fakultas Biologi menjadi Guru Besar, Kamis (10/7). Ketiga Guru besar baru tersebut adalah, Prof. Andhika Puspito Nugroho sebagai Guru Besar dalam Bidang Ekotoksikologi; Prof. Rina Sri Kasiamdari, sebagai Guru Besar dalam Bidang Biologi Fungi; dan Prof. Niken Satuti Nur Handayani sebagai Guru Besar Bidang Genetika Molekuler.
Andhika Puspito Nugroho dalam pidato pengukuhannya membahas multi-biomarker untuk biomonitoring ekosistem sungai. Menurutnya, ekosistem sungai berperan sebagai habitat spesies hewan dan tumbuhan akuatik, penyedia sumber air bersih, dan ruang untuk aktivitas ekonomi dan rekreasi. Namun, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan mempercepat pencemaran seperti pupuk, pestisida, plastik, dan logam berat, “Salah satu strategi penting dalam melindungi ekosistem sungai adalah implementasi program biomonitoring sebagai alat evaluasi kondisi ekologis dan deteksi dini terhadap perubahan kualitas perairan,” ujarnya di ruang Balai Senat UGM.
Andhika menjelaskan biomonitoring bisa digunakan sebagai pendekatan untuk mengkarakterisasi kondisi ekosistem sungai, menilai tingkat degradasi biologis, dan memantau tren kesehatan ekosistem dalam jangka panjang. Adanya pendekatan multi-biomarker memungkinkan evaluasi yang lebih menyeluruh terhadap efek kumulatif dan interaktif dari campuran berbagai pencemar, dan meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi tekanan lingkungan. “Pendekatan ini dapat merepresentasikan status kesehatan ekosistem secara lebih akurat dan informatif,” katanya.
Sementara Prof. Rina Sri Kasiamdari, menyampaikan pidato pengukuhan mengenai potensi Jamur Mikoriza Arbuskular (JMA) dan Binucleate Rhizoctonia (BNR) nonpatogen sebagai alternatif biologis dalam pengendalian penyakit tanaman dan pengelolaan pertanian berkelanjutan. Menurutnya, kedua kelompok mikroorganisme ini hadir sebagai pendekatan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Rina menjelaskan JMA sebagai jamur simbion di akar yang membantu tanaman dalam penyerapan unsur hara, terutama fosfor, serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres biotik dan abiotik melalui mekanisme induksi ketahanan sistemik. Sedangkan BNR nonpatogen dikenal sebagai agen pengendalian hayati yang efektif melawan berbagai patogen tanah melalui mekanisme kerja yang beragam yang mencakup kompetisi, antibiosis, dan parasitisme. “Kedua mikroorganisme ini tidak hanya memberikan perlindungan terhadap penyakit, tetapi juga turut meningkatkan kualitas dan kesehatan tanah, memperbaiki pertumbuhan tanaman, serta mendukung praktik pertanian berkelanjutan,” paparnya.
Lebih jauh Rina menjelaskan, kedua mikroorganisme ini juga dapat dilihat dari aspek komersialisasi, JMA telah banyak dikembangkan sebagai biofertilizer, terutama dalam sistem pertanian organik. Sementara BNR masih dalam tahap pengembangan sebagai biofungisida potensial, dengan berbagai bentuk formulasi seperti pelet, granula, atau suspensi cair. Dengan demikian, JMA lebih menonjol dalam meningkatkan ketersediaan nutrisi dan memperkuat ketahanan umum tanaman, sementara BNR lebih difokuskan sebagai agen pengendalian hayati langsung terhadap patogen tular tanah. “Keduanya memiliki peran yang saling melengkapi dan berpotensi digunakansecara sinergis dalam sistem pertanian berkelanjutan untuk meningkatkan kesehatan tanaman, produktivitas, dan ketahanan terhadap penyakit,” simpulnya.
Selanjutnya, Prof. Niken Satuti Nur Handayani, menyampaikan pidato tentang tentang teknologi Next-Generation Sequencing (NGS) dalam pendeteksian penyakit thalassemia. NGS adalah teknologi yang membaca ratusan hingga ribuan gen dalam waktu relatif singkat. “Kemampuan ini membuka peluang baru pada pengobatan yang disesuaikan secara personal dan presisi,” ujarnya.
Teknologi NGS terbukti mampu mengidentifikasi pembawa (carrier) yang tidak terdeteksi oleh metode rutin dan mengidentifikasi mutasi genetik yang sebelumnya belum diketahui. Strategi skrining massal dan konseling genetik yang tepat sangat dianjurkan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan angka kejadian thalassemia tinggi. Target strategi skrining yang dianjurkan adalah ibu hamil dan bayi. “Tujuannya untuk mengurangi kelahiran bayi dengan thalasemia mayor, yaitu bentuk thalassemia yang paling berat,” ujar Niken.
Strategi skrining yang sama juga ditujukan pada pasangan premarital dan calon orang tua. Beberapa negara telah berhasil mengurangi beban thalassemia melalui skrining pranikah yang diwajibkan oleh pemerintah. “Pemanfaatan NGS terbukti secara signifikan meningkatkan efektivitas pencegahan thalasemia dibandingkan dengan metode konvensional,” sebut Niken.
Meski demikian, metode-metode rutin tetap masih menjadi standar dalam deteksi thalassemia, terutama di wilayah endemik. Kehadiran metode NGS di dunia klinis mendorong perlunya penerapan protokol yang terstandar, baik dalam proses sekuensing maupun analisis bioinformatika, guna menjamin konsistensi hasil pemeriksaan antar laboratorium.
Niken menyarankan bahwa teknologi NGS dapat dikembangkan lagi agar dapat diaplikasikan di daerah lebih luas lagi. Untuk mendorong pengembangan teknologi NGS, dibutuhkan usaha kuat dari pemerintah, peneliti, dan masyarakat. “Dibutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah, tenaga medis, lembaga pendidikan, laboratorium diagnostik, organisasi masyarakat, serta keluarga dan individu yang berisiko,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Indonesia adalah salah satu negara yang terletak di sepanjang Thalassemia Belt, yang menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah kasus thalassemia. Pada tahun 2021, diperkirakan jumlah pasien dengan thalasemia mencapai 10.973, yang menunjukkan peningkatan 3,06% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, thalassemia menempati peringkat kelima sebagai penyakit tidak menular yang paling banyak menggunakan anggaran.
Penulis : Lazuardi dan Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto