Sebagai pelopor perguruan tinggi nasional yang unggul dan inovatif, UGM terus mendorong para penelitinya untuk produktif dalam menghasilkan karya ilmiah dan produk inovasi yang memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Di sisi lain, pengembangan kesadaran peneliti untuk melindungi hasil penelitiannya juga perlu ditingkatkan melalui perlindungan Kekayaan Intelektual (KI). UGM melalui Direktorat Penelitian terus mengupayakan program sosialisasi KI, baik KI secara umum maupun pada setiap cabang KI lainnya seperti paten, hak cipta, merek, maupun desain industri. Data menunjukkan, hasil sosialisasi memberikan hasil yang signifikan dengan meningkatnya jumlah permohonan KI UGM. Pada tahun 2018 tercatat 256 permohonan KI meningkat menjadi 963 di tahun 2024. Hal ini juga membawa dampak positif bagi kenaikan jumlah KI terutama paten yang tersertifikasi yaitu sejumlah 330 paten sampai dengan tahun 2024.
Sebagai upaya penyadaran agar para peneliti mau melindungi hasil penelitian dan pengabdiannya dengan KI, Kamis (16/5), Direktorat Penelitian menyelenggarakan Workshop Sosialisasi Kekayaan Intelektual “Pelindungan Kekayaan Intelektual Hasil Penelitian dan Pengabdian”. Kegiatan yang dilaksanakan secara daring melalui media Zoom ini diikuti oleh lebih dari 400 peserta yang terdiri dari dosen atau peneliti UGM, tenaga kependidikan, alumni, hingga masyarakat umum.
Melalui kegiatan ini, Kepala Sub Direktorat Publikasi Ilmiah dan Kekayaan Intelektual Direktorat Penelitian, Ratih Fitria Putri, S.Si., M.Sc., Ph.D. berharap agar seluruh sivitas akademika UGM dapat memiliki pemahaman untuk mendaftarkan hasil luaran penelitian berupa KI melalui universitas sebagai wujud pelindungan hasil karya. “Mari bersama-sama memajukan KI di UGM dan juga skala nasional untuk Indonesia yang lebih maju dan juga handal,” ungkap Ratih.
Sebelum memasuki sesi materi, peserta diberikan pre-test untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mengenai dasar-dasar KI. Sesi materi pertama diisi oleh Irna Nurhayati, S.H., M.Hum., LL.M., Ph.D, dosen Departemen Hukum Bisnis Fakultas Hukum UGM. Irna memaparkan tentang tantangan baru dalam melindungi hak-hak intelektual mengingat hasil riset dapat dengan mudah disalin, didistribusikan, dan dimodifikasi tanpa izin dari inventor. “Ada banyak ragam dari KI dan pengetahuan terhadap jenis-jenis KI penting bagi semua sivitas akademik untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan dari praktik pencurian dan plagiarisme,” ucap Irna.
Irna menjelaskan selain paten, kepemilikan KI yang dilindungi oleh hukum atau negara meliputi hak cipta, merek, desain industri, indikasi geografis, rahasia dagang, desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST), dan perlindungan varietas tanaman (PVT). Sedangkan untuk sistem pelindungan terbagi menjadi dua, yaitu sistem konstitutif (first to file) dan sistem deklaratif (first to use).
“Pada sistem konstitutif, pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran akan memiliki hak atas karya intelektual tersebut, makanya disebut dengan sistem first to file,” jelas Irna. Ia menambahkan, untuk sistem deklaratif meskipun pengguna KI belum mengajukan permohonan pendaftarannya, secara otomatis hak eksklusif akan diberikan kepada pengguna pertama (first to use) KI dengan syarat harus diumumkan kepada publik.
Sesi materi kedua diisi oleh Dr. Eng Ir. Herianto, S.T., M.Eng., IPU., ASEAN.Eng, dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM. Herianto membagikan pengalamannya ketika mendaftarkan KI atas riset-risetnya, salah satunya adalah face shield 3D sebagai bagian dari alat pelindung diri (APD) medis dalam menangani pandemi Covid-19. “Meskipun saat itu riset yang saya lakukan lebih ke arah pengabdian, tapi tetap saya daftarkan atas nama UGM agar ide tersebut tidak diambil dan dikomersialisasikan oleh orang lain,” ungkapnya.
Herianto menjelaskan karya dari satu hasil riset dapat diajukan untuk beberapa KI sekaligus karena setiap jenis KI memiliki pelindungan yang berbeda-beda. Ia juga membagikan tips untuk selalu melakukan pengecekan patentability terhadap suatu ide riset untuk meminimalkan potensi ditolak karena identik atau mirip dengan hasil riset peneliti lain. Menurutnya, mindset untuk menyiapkan pelindungan KI hanya dilakukan setelah selesai proyek penelitian malah bisa jadi merugikan peneliti baik dari segi waktu maupun finansial. Hal ini dikarenakan bisa saja ketika peneliti ingin mempatenkan invesinya terhalang oleh paten terdahulu. “Kalau ternyata setelah dicek tidak ada yang melakukan riset yang sama, silakan dilanjut untuk risetnya,” tutup Herianto.
Selain rutin melakukan sosialisasi pelindungan KI, proses hilirisasi riset juga terus dilakukan oleh UGM melalui UGM Science Techno Park (STP). Hilirisasi yang dilakukan oleh UGM STP sejalan dengan fokus prioritas nasional antara lain Kesehatan, Pertanian Terpadu, Energi Baru dan Terbarukan, Manufaktur, Rekayasa, Teknologi Informasi, dan Komunikasi (MRTIK), serta Heritage, Art, and Culture Sustainability Management. Tercatat hingga saat ini UGM berhasil menghilirkan KI yang dihasilkan dari riset dan inovasi alat dan teknologi kesehatan, produk agro, serta produk digital, berupa GeNose C-19 sebagai alat screening covid-19, INA-SHUNT sebagai alat terapi hydrocephalus, OST-D vitamin D larut air, GAMA Cha sebagai material pengganti tulang dan bone filler yang tersertifikasi halal, NPC Strip G kit untuk deteksi kanker nasofaring, Ceraspon alat kesehatan berupa spon untuk pasca bedah, alat deteksi dini bencana longsor, serta perangkat kendali sistem radiografi digital.
Penulis: Triya Andriyani