Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM merayakan Dies ke-78 terhitung berdiri sejak 3 Maret 1946. Fakultas yang dulunya dikenal dengan nama Fakultas Sastra ini telah mengalami banyak perubahan dan meraih capaian yang membanggakan sehingga menjadi pilar utama dalam pengembangan Ilmu-ilmu Humaniora.
Dekan FIB UGM, Prof. Dr. Setiadi, mengatakan FIB UGM terus mendorong kegiatan riset dan publikasi di bidang Ilmu Humaniora yang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa. Untuk saat ini, pihaknya mengelola sebanyak 15 jurnal, 8 diantaranya sudah terakreditasi SINTA dan 3 terindeks internasional. Beberapa jurnal milik FIB UGM tersebut diantaranya Humaniora, Poetika, Lexicon, Lembaran sejarah, Rubikon, Lembaran Antropologi, Gadjah Mada Journal of Tourism Studies, hingga East Asian Review.
Namun baru-baru ini, kata Dekan, FIB UGM siap menerbitkan jurnal baru yang terkait penelitian kosmopolis rempah. Hal itu dilakukan karena FIB UGM memiliki unit penelitian kosmopolis rempah sehingga salah satu keluarannya adalah penerbitan hasil riset. “Jurnal yang secara khusus mengenai rempah-rempah di Indonesia yang kita beri nama International Journal of Spice Studies yang akan segera kita luncurkan agar media publikasi ilmiah kita semakin kuat dan beragam,” ujarnya di pidato Laporan Dekan pada perayaan puncak Dies ke-78 FIB, Selasa (5/3) di ruang pertemuan Gedung R. Soegondo FIB UGM.
Setiadi mengatakan publikasi artikel yang dilakukan dosen pada jurnal internasional bereputasi pada tahun 2023 sebanyak 100 artikel. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 100 persen dibandingkan tahun 2022 lalu sebanyak 51 artikel. “Dari jumlah tersebut, Departemen Antropologi menduduki tempat tertinggi untuk publikasi jurnal internasional bereputasi sebanyak 49 persen dan Departemen Bahasa dan Sastra sebesar 30 persen,” katanya.
Sementara Guru Besar FIB UGM, Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S, M.Hum, DEA., dalam pidato ilmiahnya yang berjudul The Upper Subject: Honor dan Praktik Reproduksi Sosialnya dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, mengatakan bahwa di tengah masifnya penggunaan teknologi, terutama teknologi informatika, banyak potensi melemahnya keberadaan manusia sebagai subjek.
Padahal manusia adalah subjek. “Subjektivitas manusia tersebut berpotensi tercerabut karena terlalu diposisikannya teknologi sebagai subjek baru yang mengalahkan manusia. Membicarakan subjek dapat kita gunakan untuk melakukan refleksi kritis, bukan hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi diri kita sendiri. Kita perlu terus menerus melakukan proses kritis. Jangan sampai kita semua dan terutama generasi-generasi muda tidak dapat menjawab dengan alasan yang jelas akan suatu pilihan karena teralihkan pada pragmatisme dalam cara berpikir mereka,” kata Wening.
Selain soal subjektivitas manusia, Wening juga menyoroti tentang perilaku kelompok masyarakat kita yang suka memamerkan kekayaan sebagai bagian dari the upper subject. Bagi Wening, sebetulnya tidak ada yang salah dengan the upper subject yang dimilikinya. Apalagi banyak yang memang sejak lahir telah memiliki privilege dalam masyarakat karena akumulasi modal-modal yang sudah dilakukan oleh orang tua atau kakek neneknya. Namun, yang perlu diingat, posisi the upper subject tersebut perlu dikelola agar bersifat kontributif bagi masyarakat dan bukan hanya fokus pada hasrat pribadi yang diunggulkan apalagi merugikan orang lain.
“Memiliki tas Hermes, Dolce & Gabbana dan merk-merk lain atau memiliki rumah dan mobil mewah bukanlah hal yang salah. Namun, memamerkannya terus-menerus di tengah masyarakat yang masih banyak berkekurangan menunjukkan ketidakmampuan orang tersebut mengontrol hasrat narsismenya serta menjelaskan hilangnya solidaritas baik mekanik maupun organik di tengah masyarakat kita,” ujarnya.
Penulis : Gusti Grehenson