Banjir dan tanah longsor yang menimpa Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menyebabkan kerusakan dan kerugian bagi masyarakat banyak. BNPB mencatat per 18 Desember, jumlah korban jiwa dari tiga provinsi terdampak mencapai 1.059 orang. Jumlah ini berpotensi untuk meningkat. Belum lagi 192 korban masih hilang dan 147 ribu rumah rusak. Menanggapi hal tersebut, pemerintah pun berencana untuk segera membangun rumah hunian sementara dan hunian tetap bagi para korban terdampak.
Universitas Gadjah Mada melalui melalui grup penelitian “Tangguh” yang merupakan kolaborasi antara Arsitektur, Teknik Sipil, serta Perencanaan Wilayah dan Kota tengah merencanakan proyek desain hunian sementara yang layak bagi para korban. Ada pun para peneliti yang terlibat dalam grup ini ialah Prof. Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., Ir. Ashar Saputra, ST, MT, Ph.D.,IPM., ASEAN.Eng., Maria Ariadne Dewi Wulansari, S.T., M.T., Atrida Hadianti, S.T., M.Sc., Ph.D., dan Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D.
Nares, selaku salah satu dari peneliti mengungkapkan alasan konsep ini muncul karena kondisi di lapangan. Jumlah korban yang sangat besar, termasuk kerusakan bangunan yang mencapai puluhan ribu unit, serta lokasi terdampak yang bersifat remote dan sulit diakses, membuat proses pemulihan dan pembangunan hunian tetap akan berjalan lama, dan diperkirakan mencapai tahunan. Sedangkan para penyintas sendiri belum memiliki tempat tinggal yang layak untuk menunggu dalam waktu selama itu.
Ia menilai bahwa terpal dan tenda darurat saja tak cukup layak untuk memfasilitasi para warga dalam waktu selama itu. “Berarti, bisa jadi warga itu akan berada di lokasi itu sebelum ada hunian yang tetap, itu pasti dalam jangka waktu yang lama. Jadi, terpal atau tenda sementara rasanya kok kurang manusiawi,” katanya, Jumat (19/12), saat mock up hunian sementara itu di bangun di Lab Struktur, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, UGM.
Adapun prinsip hunian transisi tersebut menurutnya harus memanusiakan penyintas, dengan hunian berukuran standar, dan berbasis keluarga bukan komunal. Lalu, menggunakan bahan lokal yang dapat didaur-ulang, dalam hal ini adalah kayu hanyutan banjir yang tersedia di lokasi. Selanjutnya, menggunakan teknologi sederhana dengan hubungan antar kayu tanpa takikan. “Yang tidak kalah penting pelibatan penyintas pada proses pembangunan, untuk meningkatkan rasa kepemilikan,” paparnya.
Soal struktur rancangan, Ashar Saputra, menyebutkan konsep huntar dan huntap yang mereka buat menggunakan bahan papan kayu berukuran 3 x 12 cm. Material utama yang dipilih adalah kayu yang berasal dari hanyutan banjir. Kayu relatif tahan hingga 3–4 tahun dalam berbagai kondisi cuaca. “Strukturnya hanya pakai baut saja dan alatnya hanya bor. Harapannya itu, sangat sederhana sehingga orang awam dapat membuat rumahnya sendiri. Tempel, gapit, baut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, melalui konsep ini, dimana masyarakat sendiri yang membangun, maka hunian ini akan lebih cepat terwujud. “Dari pada kita harus menunggu satu rumah jadi satu-satu. Masyarakat juga akan merasa lebih memilki, karena ikut serta dalam pembuatannya,”tegasnya.
Soal masa pakainya, Ashar memperkirakan sekitar 3–5 tahun, mengingat proses perencanaan rumah permanen sangat lama, mulai dari penyusunan hazard map hingga penentuan lokasi yang dapat dihuni maupun lokasi relokasi.
Sebelumnya, proyek serupa telah dilakukan di kawasan-kawasan lain yang terdampak bencana, seperti Jogja, Lombok, dan Palu. Oleh karena itu, Nares mengungkapkan bahwa setiap lokasi memiliki kekhasan tersendiri. Desain disesuaikan dengan ketersediaan material, kondisi tanah, topografi, budaya setempat, kebiasaan pemanfaatan ruang seperti keberadaan teras untuk bersosialisasi, serta modal sosial yang ada di masyarakat. Desain tetap mengacu pada standar minimum 36 m² yang telah ditetapkan. “Kalau di Lombok waktu itu pakai baja, lokasinya masih memungkinkan untuk membawa baja dari Pulau Jawa. Kalau Sumatera, lebih susah. Jadi, pemilihan material itu juga sangat tergantung lokasinya,” jelasnya.
Nares pun menjelaskan bahwa saat ini, proyek berada pada tahap mock-up dan perancangan teknis. Tahap selanjutnya adalah penyusunan brosur, poster, dan modul pelatihan agar masyarakat lokal dapat membangun hunian transisi secara mandiri dan lebih cepat pulih pascabencana. “Ya harapannya, nanti kita susun juga modul untuk pelatihan, karena kita ingin warga lokal sendiri yang melaksanakan supaya mereka bisa lebih cepat mendapat rumah mereka kembali,” pungkasnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Tim Peneliti
