Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan The 11th International Seminar on Tropical Animal Production (ISTAP XI) pada 7–9 November 2025 silam di Eastparc Hotel Yogyakarta. Kegiatan yang berlangsung setiap dua tahun ini menghadirkan rangkaian seminar, plenary session, dan field trip sebagai upaya memperkuat jejaring akademik lintas negara. Tahun ini, acara diikuti oleh 89 presenter dari lima negara serta tujuh keynote speaker dari tujuh negara, yaitu Jepang, Filipina, Malaysia, Taiwan, Australia, Ceko, dan Indonesia.
Tema Building a Smart Livestock Ecosystem and Environment: Synergy Among Stakeholders and Sustainable Animal Practices dipilih untuk menanggapi perkembangan teknologi dalam sektor peternakan dan agrikultur saat ini. Tema tersebut menekankan pentingnya inovasi yang mampu meningkatkan produktivitas ternak sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan. Melalui forum internasional ini, peserta dan narasumber diharapkan dapat menjalin kolaborasi dan saling berbagi wawasan terkait penelitian terbaru.
Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ir. Budi Guntoro, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., menyatakan bahwa hubungan antara produktivitas ternak dan dampak lingkungan menjadi isu utama dalam diskusi ISTAP XI. Ia menuturkan, permintaan produk hewani yang terus meningkat menuntut solusi untuk menekan jejak lingkungan sektor peternakan, mulai dari emisi gas rumah kaca, penggunaan lahan, hingga konsumsi air. “Seminar ini dapat menjadi tempat berbagi dari para peneliti, profesional industri, dan mereka yang memiliki ketertarikan pada produksi pangan halal, keberlanjutan produktivitas ternak, serta tanggung jawab lingkungan sembari menawarkan wawasan praktis untuk mengatasi tantangan global,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan oleh Direktur Kemitraan, Alumni, dan Urusan Internasional UGM, Prof. Dr. Puji Astuti, S.Si., M.Sc., Apt., yang menekankan pentingnya kolaborasi internasional yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ia berharap diskusi dalam tiga hari penyelenggaraan dapat membuka peluang kerja sama riset yang lebih luas. “Saya berharap diskusi selama tiga hari ke depan akan menginspirasi kolaborasi baru dan memperkuat komitmen bersama kita untuk memperkuat ketahanan global, terutama ketahanan pangan, serta membangun fondasi bagi dunia yang damai dan berkelanjutan,” ungkapnya.
Pada hari pertama, Plenary Session I menghadirkan tiga pembicara yang memaparkan hasil penelitian dari institusi masing-masing. Dr. L. Emilio Morales dari University of New England menjelaskan strategi peningkatan profitabilitas agribisnis agar petani mampu memperoleh keuntungan lebih besar. Ia menyoroti pentingnya diferensiasi produk, inovasi layanan berbasis teknologi, dan pemanfaatan media sosial sebagai sarana pemasaran. “Media sosial digunakan bukan hanya untuk tujuan penjualan, tetapi sebagai alat untuk mempromosikan serta menyajikan informasi lengkap tentang produk tersebut,” jelasnya.
Salah satu contoh yang ia angkat adalah Quinoa yang berhasil diposisikan sebagai produk berbeda dari makanan pokok umum seperti beras, kentang, atau pasta. Produk tersebut dipromosikan melalui keunggulan gizi, cita rasa, dan kemudahan pengolahan sehingga diterima luas sebagai alternatif pangan bergizi.

Pembicara kedua, Dr. Hsin-I Chiang dari National Chung Hsing University, Taiwan, memaparkan pemanfaatan teknologi dalam smart agriculture untuk meningkatkan kesehatan dan produktivitas ternak. Ia menekankan, tantangan terbesar peternakan saat ini berkaitan dengan kerentanan hewan terhadap penyakit dan stres lingkungan. Salah satu solusi yang dikembangkan adalah perangkat pemantauan aktivitas ternak yang dapat mendeteksi kondisi kesehatan secara lebih akurat. “Sistem ini dimulai dari pengumpulan informasi oleh sensor, pengambilan keputusan oleh AI, dan kemudian solusi,” paparnya.
Prof. Satoru Tsuchikawa dari Nagoya University menutup sesi dengan pemaparan mengenai teknologi spektroskopi untuk membangun ekosistem pertanian cerdas. Jepang telah mengintegrasikan Near InfraRed (NIR), Hyperspectral Imaging (HSI), dan kecerdasan buatan untuk meningkatkan efisiensi produksi. Ia memberi contoh penggunaan NIR dalam penyortiran jeruk guna mengklasifikasi tingkat kandungan gula secara cepat. “Spektroskopi akan menjadi hubungan universal antara kecerdasan fisik dan digital untuk mencapai harmonisasi dengan alam. Integrasi kredibilitas NIR dan AI sebagai deep learning memungkinkan pengenalan yang cepat, non-destruktif, dan cerdas dari peternakan hingga pabrik,” terangnya.
Menutup kegiatan hari pertama, Ketua Pelaksana ISTAP XI, Ir. Tian Jihadhan Wankar, S.Pt., M.Sc., Ph.D., IPP., menyampaikan harapan agar forum ini menjadi awal dari kerja sama baru antarpeserta. Ia mengajak seluruh peneliti untuk terus berbagi hasil riset dan memperluas jaringan ilmiah di masa mendatang. “Harapan acara ini kita bisa melanjutkan tradisi untuk berbagi informasi hasil penelitian di tahun-tahun berikutnya dan memperluas jaringan untuk koneksi serta kolaborasi,” tuturnya.
Penulis: Jesi Pratiwi
Editor: Triya Andriyani
Foto: Dok. Fakultas Peternakan UGM
