Pada tahun 2023, jumlah pelaku UMKM mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha atau sekitar 65 juta pelaku usaha. Kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai 61 persen setara dengan 9.580 triliun rupiah, serta mampu menyerap 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja. Meski, UMKM sebagai leading sektor perekonomian nasional mempunyai tantangan dalam hal inovasi, akses keuangan, dan adopsi teknologi di kalangan UMKM. Dalam bidang pemasaran dan pengembangan usaha, para pelaku UMKM dihadapkan sejumlah tantangan diantaranya terkait kegagalan produk atau layanan, risiko kredit usaha, dan persaingan serta perubahan pasar.
Dosen Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Boyke Rudy Purnomo, S.E., M.M., Ph.D., CFP, mengatakan kegagalan produk atau layanan dalam bisnis UMKM sering kali disebabkan oleh ketidakcocokan dengan kebutuhan konsumen. Kualitas pelaku UMKM juga dinilai tidak memadai. “Ada semacam ketidakmampuan produk dalam mencapai target pasar. Di sektor UMKM, risiko ini dapat timbul akibat kurangnya riset pasar, keterbatasan modal, inovasi yang kurang tepat, atau tantangan dalam persaingan bisnis itu sendiri”, katanya di Ruang Multimedia 1 UGM, Selasa (12/11) di diskusi UMKM CLASS SERIES #11 bertema Mengelola Kegagalan Layanan, Resiko Kredit Usaha dan Persaingan Bisnis UMKM.
Dalam pemaparannya, Boyke mengutip laporan International Finance Corporation (IFC) yang menyebut sekitar 60 peserta UMKM mengalami permasalahan terkait risiko kegagalan produk atau layanan dalam tiga tahun terakhir. Di sektor produk digital dan e-commerce, dia mengatakan kegagalan sering kali terjadi akibat kurangnya inovasi dan ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan perilaku konsumen. Oleh sebab itu, para pelaku UMKM harus mengenali berbagai sinyal adanya potensi kegagalan. Jika komplain meningkat dan omzet menurun, disebutnya sebagai tanda-tanda sinyal kegagalan itu muncul. “Tapi bisa juga kegagalan itu disebabkan adanya potensi pasar turun, tidak ada inovasi dan diferensiasi, arus kas negatif, kehilangan fokus, dan bisa-bisa SDM yang dimiliki tidak memiliki kapabilitas yang memadai,” paparnya.
Lutfi Anggriawan, S.E., selaku Branch Office Head Bank Rakyat Indonesia, Yogyakarta Cik Ditiro yang berbicara soal Resiko Kredit Usaha dan Cara Mengatasinya mengatakan risiko kredit usaha akibat potensi gagal bayar atau ketidakmampuan pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada pemberi pinjaman, seperti bank atau lembaga keuangan lainnya.
Menurut Lutfi jika tidak dikelola dengan baik, risiko kredit dapat berdampak pada likuiditas bisnis dan bahkan menyebabkan kebangkrutan. Beberapa penyebab risiko kredit usaha bagi UMKM antara lain pengelolaan keuangan yang lemah karena tidak adanya sistem akuntansi atau manajemen keuangan yang memadai, sehingga sulit memantau arus kas dan pembayaran utang.
Selain itu juga disebabkan pendapatan yang tidak stabil, kurangnya pemahaman tentang kredit, dan faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi, inflasi, atau kenaikan suku bunga, yang memperbesar risiko kredit bagi UMKM. Risiko kredit yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan usaha. “Berdasar laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), banyak pelaku UMKM mengalami kredit macet, sehingga mereka kesulitan mengakses pinjaman baru untuk memperluas bisnis. Terjadinya kebangkrutan atau penutupan usaha karena ketidakmampuan membayar cicilan”, terangnya.
Menurut data Bank Indonesia, kata Lutfi, kredit macet di sektor UMKM mencapai 4,29 persen dari total kredit pada tahun 2022, dan adanya penurunan tingkat kepercayaan lembaga keuangan, sehingga hanya sekitar 20 persen UMKM yang memiliki akses terhadap kredit formal. Risiko kredit usaha ini dapat diatasi dengan beberapa langkah, antara lain manajemen keuangan yang lebih baik, dan diversifikasi sumber pendapatan dengan memperluas produk atau layanan, yang dapat mengurangi ketergantungan pada satu sumber pendapatan. “Perlu juga mengakses layanan pendampingan keuangan, meningkatkan literasi keuangan untuk memahami kredit, risiko bunga, dan ketentuan pembayaran yang lebih fleksibel, serta memanfaatkan teknologi, seperti platform digital yang dapat membantu UMKM dalam mengelola kredit”, ujarnya.
Dr. Ina Melati, S.E., M.M, Dosen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyebutkan sekitar 60 persen UMKM di negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami kesulitan mendapatkan kredit formal padahal diperlukan untuk berinvestasi dalam inovasi usaha lewat digital. “Dalam menghadapi perubahan pasar, UMKM perlu meningkatkan daya saing melalui inovasi, digitalisasi, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta, untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada”, ucapnya.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Dr. dr. Rustamaji, M.Kes., mengatakan kegiatan diskusi soal pengembangan UMKM diharapkan mampu meningkatkan pemahaman pelaku UMKM dan membantu mencari akar penyebab dan dampak kegagalan produk atau layanan, risiko kredit usaha, serta perubahan dan persaingan pasar. “Kita ingin membekali pelaku UMKM dengan keterampilan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola risiko bisnis secara efektif, sehingga dapat meminimalisir potensi kerugian,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho