
Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa atau European Deforestation Regulation (EUDR) kini menjadi perhatian global. Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebutkan bahwa Uni Eropa telah bersedia untuk memberikan relaksasi terhadap penerapan regulasi anti-deforestasi tersebut. Pakar UGM di bidang Keilmuan Kebijakan Kehutanan, Prof. Ahmad Maryudi, menilai adanya relaksasi regulasi deforetasi tersebut menjadi momentum untuk memperkuat strategi transisi yang adil dan bertahap serta perbaikan tata kelola hutan.
Menanggapi kabar bahwa Uni Eropa bersedia memberi relaksasi terhadap implementasi EUDR di Indonesia, Ahmad Maryudi menilai hal tersebut sebagai bagian dari proses diplomasi yang wajar. Menurutnya, yang terpenting untuk dilakukan oleh Indonesia adalah jangan langsung terburu-buru mengikuti semua standar tanpa persiapan matang. “Perlu ada pendekatan yang bertahap dan terukur untuk menghadapi hal ini,” ujarnya, Selasa (22/7).
Menurut Maryudi, aturan anti deforestasi ini bukan hanya urusan dari sektor kehutanan saja. Perlu adanya komunikasi lintas-sektor seperti antara sektor, pertanian, perdagangan, bahkan diplomasi luar negeri. Pasalnya, untuk menghadapi adanya EUDR, bukan soal menolak atau menerima sepenuhnya, melainkan soal mengelola transisi. “Kita tidak bisa menolak arus regulasi global, tapi kita bisa dan harus mengatur irama kita sendiri. Supaya transisinya adil, tidak memberatkan petani kecil, dan tetap menjaga keberlanjutan hutan,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa EUDR ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, sudah ada European Union Timber Regulation (EUTR) yang berfokus pada mencegah masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa. Saat itu, Indonesia bahkan menjadi negara pertama dan satu-satunya yang memiliki sistem legalitas kayu, yaitu sistem verifikasi legalitas dan kelestarian (SVLK), yang diakui oleh Uni Eropa.
Menurutnya, EUTR dulu dijalankan melalui skema Voluntary Partnership Agreement (VPA), di mana negara-negara produsen kayu membangun sistem verifikasi legalitas nasional. Indonesia dianggap paling berhasil menjalankan skema ini. SVLK Indonesia, Maryudi mengatakan, menjadi satu-satunya sistem yang lolos penilaian Uni Eropa. Meski begitu, tetap saja ada mekanisme due diligence dari sisi importir Eropa yang memungkinkan kayu dari negara lain masuk tanpa sertifikasi formal.
Pemberlakuan EUDR oleh Uni Eropa ini dinilainya dapat menjadi momentum perbaikan tata kelola hutan di Indonesia. Meski begitu, regulasi tersebut juga menyimpan risiko terhadap keberlanjutan ekspor komoditas kehutanan dan pertanian Indonesia, terutama bagi petani kecil. Apalagi transformasi dari regulasi EUTR ke EUDR ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa legalitas belum tentu menjamin pencegahan deforestasi. Uni Eropa ingin memastikan bahwa produk yang mereka impor tidak berasal dari pembukaan hutan. “Seperti di Indonesia contohnya mereka memperluas cakupan, bukan hanya kayu, tapi juga sawit, kopi, kakao, hingga daging dan kedelai,” ujarnya.
Menandai adanya pergeseran besar dari pendekatan legalitas ke keberlanjutan dalam pengelolaan hutan, diperlukan hanya soal izin, tapi juga asal-usul lahan dan dampaknya terhadap tutupan hutan. Ini akan membuat standar jadi jauh lebih ketat dan kompleks, apalagi karena cakupannya bukan hanya satu komoditas. Secara prinsip, EUDR bisa menjadi peluang untuk mendorong tata kelola hutan yang lebih baik. “Kalau benar-benar diimplementasikan dengan baik, regulasi ini bisa memperbaiki cara kita mengelola produksi kayu dan komoditas lainnya agar lebih bertanggung jawab,” imbuh Ahmad.
Di sisi lain, Ahmad Maryudi menekankan adanya risiko terhadap pelaku usaha, terutama untuk petani kecil. Ia mencatat, sekitar 50% produksi sawit Indonesia berasal dari petani kecil, dan di sektor kopi dan kakao, angkanya bisa mencapai 90-100%. “Ini sistem yang costly (mahal). Bahkan perusahaan besar saja belum tentu langsung siap. Apalagi petani kecil yang punya keterbatasan teknis dan finansial. Mereka jelas akan terdampak,” katanya.
Meski Uni Eropa bukan pasar ekspor utama untuk semua komoditas, contohnya sawit lebih banyak dikirim ke Tiongkok dan India, Ahmad Maryudi menekankan pentingnya posisi Eropa secara politik. Ia merekomendasikan untuk tetap waspada. “Uni Eropa sering jadi trend-setter regulasi global. Kalau mereka menetapkan standar, negara lain biasanya ikut menyesuaikan. Jadi meskipun pangsa pasarnya tidak dominan, kita tetap harus waspada karena tren globalnya mengarah ke sana,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : ykan.or.id