
Praktisi Hukum Maqdir Ismail mengusulkan agar tersangka tokoh politik tidak perlu ditahan sebelum adanya putusan pengadilan jika terjerat kasus pidana. Menurutnya, penahanan bisa dilakukan untuk tersangka yang masih belum jelas latar belakangnya. Sedangkan jika tersangka sudah diidentifikasi, tidak perlu adanya penahanan sebelum putusan dan bukti ditemukan. Hal itu disampaikan Maqdir dalam rapat dengar pendapat umum terkait revisi KUHAP di Komisi III DPR Rabu (5/3) lalu.
Menanggapi usulan tersebut, Dosen Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, SH, LL.M., menolak adanya usulan tersebut. “Tidak boleh membedakan tokoh politik dengan rakyat biasa. Harus equality before the law,” tegasnya, Rabu (12/3).
Dalam undang-undang, tidak ada kekhususan bagi tokoh politik. Walaupun disebutkan dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, penyidikan anggota legislatif harus mendapatkan izin dari Presiden, namun poin ini tidak berlaku dalam sejumlah kasus. Termasuk kasus korupsi.
Bagi Akbar, tersangka tokoh politik sama beresikonya dengan tersangka lainnya. Terlepas dari dugaan kasus yang dituduhkan, tokoh politik justru potensial mengganggu proses hukum. “Kepemilikan atas kekuasaan dan kewenangan berpotensi menimbulkan hambatan selama penyelidikan berlangsung, seperti menghalangi saksi, memusnahkan barang bukti, bahkan memanipulasi kejadian,” ujarnya.
Menurutnya, upaya penahanan tersangka dapat dilakukan di setiap tingkat, mulai dari kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan pengadilan oleh hakim. Sebab, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP, penahanan tersangka dilakukan berdasarkan dua alasan. Alasan subjektif, yakni kekhawatiran melarikan diri, melakukan perbuatan lagi, atau merusak barang bukti. Serta alasan objektif yaitu ancaman pidana tersangka mencapai 5 tahun atau lebih. “Penahanan itu merupakan kewenangan. Jadi bukan kewajiban. Tidak semua kejahatan bisa ditahan, jika memenuhi syarat objektif yakni pidana lima tahun ke atas, harus juga memenuhi syarat subjektif,” ungkap Akbar.
Soal masa penahanan bisa bervariasi tergantung proses hukum yang sedang dilakukan. Seperti dalam proses penyidikan, penahanan paling lama berlangsung selama 20 hari dan dapat diperpanjang sampai 40 hari. Semakin tinggi tahapan kasusnya, semakin lama pula maksimal masa tahanan yang bisa diberlakukan. “Jika ditotal, seorang tersangka bisa ditahan maksimal 400 hari selama proses pengadilan,” paparnya.
Menurutnya, usulan tidak adanya penahanan terhadap tokoh politik tidak diperlukan dalam KUHAP saat ini. Namun tetap ada poin-poin penting yang secara umum perlu diperbaiki. Perlu ada parameter untuk memberikan izin bagi penahanan tersangka, sehingga kewenangan tersebut bisa dilakukan secara selektif.“Saya mengusulkan agar penahanan dilakukan selektif. Ketua Pengadilan Negeri (KPN) perlu memiliki parameter resiko untuk penahanan,” tutur Akbar.
Seperti diketahui, Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan salah satu wewenang inisiatif bagi DPR. Sejumlah poin-poin pidana akan dipertimbangkan, diseleksi, ataupun ditambahkan untuk memberikan kemudahan dan efektivitas proses penegakkan hukum. DPR sendiri menargetkan Draft KUHAP akan selesai pada April 2025 mendatang dan bisa segera didiskusikan bersama pemerintah dalam mewujudkan hukum yang berimbang, setara, dan terbuka.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson