
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi berencana menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos). Wacana ini tentu menuai banyak sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, Ph.D., menilai menjadikan vasektomi sebagai persyaratan menerima bansos dinilai kurang tepat karena sangat diskriminatif. Bahkan pendekatan Gubernur Jabar tersebut dalam pandangan Wisnu Setiadi, justru berisiko menimbulkan ketidakadilan sosial sementara masih banyak alternatif cara lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi kemiskinan. “Banyak alternatif lain, anak lebih sedikit memang akan mengurangi kemiskinan karena pembagi resource rumah tangga berkurang,” jelasnya di FEB UGM, Senin (5/5).
Wisnu pun menyampaikan kelompok keluarga miskin cenderung memiliki anggota rumah tangga lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Hanya saja, menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bansos adalah kebijakan yang terlalu ekstrem, berisiko sosial, bahkan menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan. “Niatnya mau membantu, tapi malah jadi eksklusivitas dalam sistem bantuan sosial. Padahal seharusnya kebijakannya inklusif dan berkeadilan,” ucapnya.
Jika kebijakan ini diimplementasikan, Wisnu mengkhawatirkan narasi yang akan berkembang menjadi diskriminatif dan koersif (paksaan) kontrasepsi. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap program bansos dan program pemerintah lainnya kedepan.
Menurut Wisnu perlu kiranya menggencarkan kembali Keluarga Berencana. Pemerintah diharapkan menghidupkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang bersifat sukarela seperti di era Orde Baru. Ia menyebut pendekatan tersebut terbukti berhasil menurunkan angka kelahiran tanpa paksaan.
Disebutnya, banyak negara menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menekan populasi penduduknya. Misalnya, di Amerika Serikat dan United Kingdom yang menerapkan kebijakan pembatasan tempat tinggal yang menyesuaikan jumlah kamar dengan jumlah penghuni. “DI US dan UK, dibatasi dgn tempat tinggal (2n+1). Rumah 2 kamar maksimal 5 orang. Selain itu, bisa edukasi keluarga berencana dan tawaran alternatif bentuk kontrasepsi lain,” imbuhnya.
Dari sisi hak asasi manusia, Wisnu menegaskan bila hak reproduksi merupakan bagian dari hak dasar manusia yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara. Menurutnya, negara tidak memiliki hak untuk memaksa warga menjalani tindakan medis seperti vasektomi. “Yang dibutuhkan adalah edukasi, insentif, dan sosialisasi,” ucapnya
Iapun mencontohkan India dan Tiongkok pernah menerapkan kebijakan serupa. Hanya saja kebijakan tersebut justru memunculkan berbagai persoalan sosial lanjutan seperti ketimpangan gender dan pelanggaran HAM. “Program satu anak di Tiongkok menghasilkan fenomena ‘missing girls’, dan di India terjadi protes besar-besaran saat dilakukan sterilisasi massal pada 1970-an,” jelasnya.
Wisnu juga mengingatkan kemungkinan potensi risiko moral hazard jika bansos dijadikan alat untuk memaksakan keputusan medis tertentu. Akan muncul praktik ilegal seperti surat vasektomi palsu atau klinik gelap.
Untuk merancang kebijakan kependudukan yang manusiawi dan berkelanjutan, ia merekomendasikan pendekatan partisipatif dan berbasis edukasi. Misalnya dengan mendorong voluntary family planning, memberikan insentif untuk kepesertaan program keluarga berencana tersebut, edukasi reproduksi yang komprehensif, memperkuat perlindungan sosial, serta inovasi program seperti pemberian voucher kontrasepsi gratis atau sistem berbasis insentif sosial, untuk mencapai tujuan kependudukan tanpa paksaan.
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB UGM
Penulis : Agung Nugroho