
Sebuah studi yang dipublikasikan di Jurnal Science, Agustus 2025, mengungkap temuan paradoks terkait tren kebakaran hutan dan lahan global. Penelitian yang dipimpin oleh tim dari University of California Irvine, Amerika serikat, menunjukkan bahwa meskipun total area yang terbakar secara global mengalami penurunan signifikan, jumlah populasi yang terpapar dampaknya justru melonjak tajam. Menurut laporan tersebut, total area yang dilalap api menurun sebesar 26% dalam kurun waktu 2002 hingga 2021. Namun, pada periode yang sama, jumlah individu yang terpapar kebakaran meningkat hampir 40 persen. Penelitian ini juga mengungkap, bahwa peningkatan dampak kebakaran terhadap manusia sebagian besar disebabkan oleh tumpang tindih yang semakin besar antara manusia dan lanskap rawan kebakaran. Dengan kata lain, semakin banyak orang yang membangun area yang secara alami rentan terhadap kebakaran.
Menanggapi fenomena ini, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Fiqri Ardiansyah, S.Hut., M.Sc., menjelaskan bahwa tren serupa juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil pengamatannya, tren kebakaran hutan di Indonesia pada akhir tahun 2023 juga mengalami penurunan. Fiqri menjelaskan bahwa peningkatan jumlah populasi yang terdampak di Indonesia disebabkan oleh alasan yang sama, yakni desakan ekonomi, kebutuhan lahan untuk pertanian dan pemukiman.
Fiqri mencontohkan, daerah lahan gambut yang telah terdegradasi terkonversi menjadi lahan pemukiman komunitas masyarakat. Padahal, saat bencana EL Nino, daerah-daerah tersebut menjadi sangat rentan terbakar. “Akibatnya, masyarakat yang bermukim di sana terpapar langsung oleh api. Ini adalah alasan di balik mengapa jumlah lahan kebakaran menurun, tetapi dampak terhadap populasi justru semakin meningkat,” ungkapnya, Selasa (9/9).
Meski demikian, Fiqri menambahkan bahwa upaya mitigasi terus dilakukan. Ia menyebutkan, sebenarnya sudah ada teknologi untuk early warning system untuk memprediksi kebakaran hutan. Bahkan sudah ada juga pengawasan dari BPBD, BNPB, dan Manggala Agni. Bahkan melibatkan masyarakat melalui program seperti Masyarakat Peduli Api (MPA) atau Desa Tangguh Bencana (Destana). “Semua pengawasan ini bertujuan untuk meminimalkan penggunaan api yang sering menjadi penyebab kebakaran,” tuturnya.
Sebagai tindak lanjut, Fiqri merekomendasikan untuk menggiatkan edukasi dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat yang berperan sebagai tokoh kunci. Menurutnya, figur-figur ini akan lebih didengarkan oleh masyarakat sehingga pesan untuk tidak melakukan pembakaran bisa tersampaikan secara efektif. Selain itu, ia menekankan pentingnya melakukan pemetaan untuk mengetahui status kepemilikan lahan dan peruntukannya, serta apakah lahan tersebut berada di area rawan bencana atau tidak.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Bisnis.com