Universitas Gadjah Mada kembali menggelar pentas wayang kulit pada hari Jum’at (6/12) dengan mengangkat lakon Dewa Ruci. Pentas wayang kulit yang digelar di halaman Gedung Pusat UGM menampilkan dalan muda Ki Yusuf Anshor Ganendra, yang merupakan siswa kelas XI dari MAN 1 Wonosari.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sujito., S.Sos., M.Si mengatakan dengan menggelar wayang kulit Universitas Gadjah Mada merupakan tradisi untul nguri-uri kebudayaan. Nguri-uri kebudayaan yang artinya mengakar kuat menjulang tinggi dan berbuah lebat. “Mengakar kuat itu diantaranya adalah memiliki akar dan kepekaan pada budaya, dan kali ini kita tahu bahwa upaya kita menghidupkan ngri-uri budaya itu adalah komitmen values agar pendidikan kita selalu diwarnai dengan tradisi kebudayaan”, katanya.
UGM tidak akan lepas dan lewat dari arus perubahan tetapi karakter tetap harus dipegang. Pagelaran wayang kulit ini juga diharapkan menjadi kekuatan untuk secara terus menerus mewarnai dalam karya seharian warga UGM. Bahwa olah roso disaat sedang bekerja dan berinteraksi menjadikan praktek-praktek kebudayaan yang sangat penting.
“Apalagi pementasan kali ini mengangkat tema Dewa Ruci, saya kira kita bisa tahu upaya kita memberi pesan-pesan penting tentang nilai kebaikan, nilai-nilai yang itu menjadi bagian dari misi besar universitas, dan saya kira tema itu sangat relevan dengan kita dan buat bangsa Indonesia”, ungkapnya.
Dr. Sindung Tjahyadi selaku panitia pagelaran wayang kulit menyatakan rasa senangnya karena pagelaran berhasil menarik masyarakat sekitar UGM untuk menonton. Tak hanya itu pagelaran inipun menarik kehadiran para pimpinan universitas dan fakultas, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa.
Sumber lakon Dewa Ruci, disebutnya, bermuara dari Serat Nawa Ruci. Lakon ini berisi inti ajaran tasawuf terkait pencarian diri dan Tuhan. “ Dalam usia yang 75 tahun, sudah sewajarnya UGM mengenali dan menyelami jatidirinya dengan menjelajah gunung dan lautan”, katanya.
Hal senada disampaikan Jack Haryanto yang turut meramaikan pentas saat Limbukan bersama Elisha Oscarus Allaso dan mbah Waluyo. Menurutnya pemilihan lakon Dewa Ruci didasarkan pada tema pencarian jati diri dan pencerahan spiritual yang sangat relevan dengan perjalanan UGM sebagai institusi pendidikan. “Cerita ini menggambarkan proses introspeksi dan pembelajaran yang dapat menginspirasi sivitas akademika untuk terus mencari kebenaran dan pengetahuan”, terangnya.
Adapun pesan filosofi yang ingin disampaikan, katanya, soal pentingnya mengenal diri dan memahami makna kehidupan. Dewa Ruci mengajarkan bahwa pencarian kebenaran memerlukan keberanian dan ketekunan. “Hal ini tentunya mendorong kita untuk tidak hanya fokus pada pencapaian material, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual dan moral”, ucapnya.
Lakon Dewa Ruci dinilai relevan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh UGM. UGM, kata Jack Haryanto, senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai intelektual, moral, dan kemanusiaan. Lakon Dewa Ruci sejalan dengan nilai-nilai tersebut karena mengajak sivitas akademika untuk terus berupaya dalam mengembangkan pengetahuan dan karakter. “Proses pembelajaran yang digambarkan mencerminkan semangat UGM untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana”, papar Jack.
Sebagai bentuk refleksi, Jack Haryanto berharap sivitas akademika UGM dapat merenungkan perjalanan hidup masing-masing dan memahami pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan. Melalui lakon ini, setiap individu diharapkan terinspirasi untuk terus belajar dan berkembang, serta berkontribusi positif bagi masyarakat. “Refleksi ini menjadi pengingat akan tanggung jawab moral dan sosial sebagai bagian dari komunitas UGM”, imbuh Jack yang juga salah satu panitia pegelaran wayang kulit.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto