Dalam menjaga stabilitas produktivitas pangan, Indonesia saat ini tengah menghadapi sejumlah tantangan besar diantaranya fenomena perubahan iklim yang tidak menentu, terjadinya degradasi lahan dan dinamika sosial-ekonomi yang melingkupi hidup para petani. Tidak mudah untuk menjawab tantangan tersebut, namun untuk membangun sistem pangan yang tangguh, inklusif dan tangguh nampaknya penelitian ilmiah dan kolaborasi lintas disiplin menjadi kunci.
Demikian beberapa hal ini mengemuka dalam Webinar Nasional bertajuk Sinergi Ilmu dan Kelembagaan untuk Pertanian Berkelanjutan menghadirkan dua pembicara Prof. Dr. Ir. Ferian Anggara, S.T., M.Eng., IPM, Guru Besar Fakultas Teknik UGM, Peneliti Gamahumat dan Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M,Si., staf pengajar Fisipol UGM, Peneliti Pemberdayaan Masyarakat. Webinar yang digelar secara daring, Jum’at (21/11) merupakan rangkaian program Resona Saintek, hibah dari Direktorat Minat Saintek, Ditjen Saintek, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI.
Iradhadtie Wurinanda selaku Ketua tim kerja diseminasi dan program kolaborasi dari Direktorat Minat Saintek menyatakan program Resona Sains dan Teknologi ini berorientasi pada pemahaman publik tentang bagaimana sains dapat dijelaskan secara lebih mudah oleh para ilmuwan dan akademisi kepada masyarakat serta para pemangku kepentingan. Sains dan teknologi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan ini perlu dikomunikasikan dengan cara yang mudah dipahami. “Program ini dapat dimanfaatkan oleh perguruan tinggi, para dosen, dan peneliti untuk mendiseminasikan hasil riset kepada masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan,” jelas Iradhadtie.
Membuka kegiatan webinar, Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu S.H., LL.M, mengatakan UGM terus berupaya untuk memperkuat kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi agar semakin relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya dalam menghadapi perubahan iklim. UGM berharap melalui webinar ini muncul gagasan-gagasan strategis maupun kolaborasi baru yang dapat memperkuat ketahanan pangan nasional. “Semoga melalui webinar ini, banyak pemahaman-pemahaman baru diterima sehingga berdampak meningkatkan kesejahteraan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian,” ujarnya. 
Sebagai salah satu innovator dan pengembangan Gamahumat sebagai pembenah tanah, Ferian Anggara mengatakan Gamahumat sendiri merupakan produk penelitian yang berfungsi untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah, meningkatkan efisiensi pemupukan, serta mendukung praktik pertanian ramah lingkungan. Dalam proses implementasinya, Gamahumat berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti ilmu tanah, pertanian, kehutanan, serta para pemangku kepentingan lainnya. “Program Gamahumat ini bersifat multisektoral dengan tujuan mendukung target pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan,” terangnya.
Ferian menjelaskan produk Gamahumat dikembangkan sebagai lignite-based soil stabilizer yang tidak hanya memberi dampak pada sektor pertanian, tetapi juga memiliki relevansi dengan sektor energi dan hilirisasi komoditas mineral. Inovasi ini, disebutnya, turut mendukung agenda pemerintah dalam swasembada pangan dan energi, sekaligus mendorong pemanfaatan sumber daya batu bara nasional secara lebih berkelanjutan. “Kami mengembangkan pendekatan rekayasa (engineering approach) berbasis lignite untuk menghasilkan Gamahumat dengan efisiensi yang mampu mendekati standar internasional. Kami juga memastikan bahwa produk ini tidak hanya layak secara ilmiah, tetapi benar-benar siap digunakan petani di lapangan,” tuturnya.
Uji Gamahumat di lapangan, kata Ferian, berfokus utama untuk lahan-lahan marginal karena pembukaan sawah baru di luar Pulau Jawa kerap menghadapi tantangan pH tanah rendah dan keterbatasan unsur hara. Data memperlihatkan penggunaan pupuk NPK dapat berkurang hingga 50 persen apabila dikombinasikan dengan pemakaian Gamahumat. Sementara produktivitas tanaman dapat meningkat sekitar 30 persen. “Dari analisis biaya, penggunaan Gamahumat tidak menambah beban petani karena aplikasinya dapat dilakukan bersamaan dengan pemupukan. Dengan produktivitas yang meningkat, pendapatan petani diharapkan juga ikut naik,” imbuhnya.
Menyoroti penguatan kelembagaan petani, Hempri Suyatna menyatakan kegiatan penguatan kelembagaan sebagai faktor penting dalam menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat tani melalui pendekatan sosial dan kelembagaan yang partisipatif. Dia melihat masih banyak persoalan spesifik seperti ketidakberdayaan kelembagaan menghadapi sejumlah permasalahan di sektor pertanian di Indonesia. Persoalan tersebut diantaranya mencakup minat angkatan kerja muda di sektor pertanian. “Minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian saat ini sangat rendah. Rata-rata usia petani kita sudah di atas 55 tahun, dan tidak menutup kenyataan terkadang pertanian menjadi pilihan kedua atau terakhir ketika seseorang tidak terserap ke sektor pekerjaan lain,” ungkapnya. 
Meski kemudian dilakukan modernisasi pertanian sebagai upaya menarik generasi muda ke sektor pertanian, namun kehadiran inovasi teknologi ini belum diiringi fungsi kelembagaan petani yang optimal. Banyak kelembagaan di tingkat penyuluhan maupun kelompok tani, ditengarai belum mampu memainkan peran strategis sebagai motor penggerak pengembangan sektor pertanian. Padahal kelembagaan yang kuat sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani. “Mulai dari isu harga gabah, akses pasar, hingga keberpihakan kebijakan. Dari sisi ekonomi, petani masih berada pada posisi tawar rendah dan rentan dipermainkan tengkulak, sementara dari sisi sosial mereka memiliki potensi dan inovasi yang kuat tetapi belum sepenuhnya terwadahi dalam struktur kelembagaan yang efektif,” ungkap Hempri.
Hempri menilai tekanan pembangunan dan modernisasi yang kerap meminggirkan lahan pertanian menjadi tantangan yang juga harus dihadapi. Karena itu, menurutnya, diperlukan pemberdayaan petani yang bersifat kompleks dan revitalisasi kelembagaan sosial-ekonomi di tingkat desa. Kelembagaan-kelembagaan tersebut harus menjadi pintu masuk sistem agribisnis yang modern, memfasilitasi akses modal, pasar, teknologi sehingga mampu meningkatkan daya saing anggota.
Diakui sejumlah persoalan struktural masih dijumpai, seperti rendahnya kapasitas sumber daya manusia, manajemen lembaga yang belum transparan, orientasi usaha yang masih subsisten, hingga minimnya partisipasi anggota. Diperlukan revitalisasi kelembagaan petani, baik lembaga penyuluhan, gabungan kelompok tani, maupun kelompok tani. “Revitalisasi sangat diharapkan agar kapasitas petani meningkat, karena pada akhirnya lembaga penyuluhan-lembaga penyuluhan harus menjadi sumber informasi, pelatihan, dan motivasi,” imbuhnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Agung Nugroho
Foto : Donnie
