Peneliti utama World Mosquito Program (WMP), Prof Adi Utarini, menegaskan penelitian nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia sudah mendapatkan pengakuan dan dukungan dari WHO serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Hal ini ditegaskan kembali oleh Prof Utarini dalam Talk to Scientists Perkembangan Pengendalian Vektor Dengue di Indonesia : Tantangan dan Harapan, Sabtu (25/11).
Utarini memaparkan Vector Control Advisory Group (VCAG) WHO menyimpulkan sudah ada bukti penyebaran Wolbachia ke populasi nyamuk Aedes aegypti yang mendemonstrasikan dampak kesehatan masyarakat terhadap dengue. VCAG juga menganggap sudah ada data yang mencukupi bagi WHO untuk memulai pengembangan pedoman untuk rekomendasi intervensi pelepasan Wolbachia untuk pengendalian dengue. Hal pertama kalinya VCAG memberikan penilaian positif adanya dampak kesehatan masyarakat dari intervensi pengendalian vector baru (pengurangan transmisi patogen karena intervensi Wolbachia).
Selain itu, bukti efikasi di Yogyakarta konsisten dengan hasil studi di Brazil, Vietnam, Australia dan telah mendapat rekomendasi WHO VCAG 2020 bahwa teknologi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia yang dikembangkan terbukti memberikan manfaat bagi kesehatan masyarakat untuk melawan dengue. Tim independen Kemenristekdikti juga telah melakukan analisis risiko teknologi dan menyatakan bahwa teknologi Wolbachia berada pada kategori risiko terendah yaitu dapat diabaikan (negligible). Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) merekomendasikan agar inovasi pencegahan dengue dengan teknologi Wolbachia dapat menjadi kebijakan Kementerian Kesehatan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam penanganan dengue di Indonesia.
Prof Adi Utarini mengatakan risiko intervensi Wolbachia untuk pengendalian dengue dapat diabaikan.
“Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik apa yang menjadi goals standard riset di bidang kedokteran dan kesehatan serta sudah menghasilkan bukti ilmiah terbaik. Hal tersebut dibuktikan dengan rekomendasi-rekomendasi dari lembaga di WHO dan AIPI. Implementasi intervensi Wolbachia sebagai pelengkap dari program pengendalian dengue memerlukan kepemimpinan pemerintah baik pusat maupun daerah, dukungan kuat dari pemangku kepentingan dan penerimaan masyarakat,”tutur Utarini.
Pada forum tersebut Prof Adi Utarini kembali memaparkan program yang telah berjalan di Yogyakarta. Ia menjelaskan yang berperan penting adalah nyamuk betina ber-Wolbachia karena nyamuk betina ini akan menghasilkan semua telurnya ber-Wolbachia. Jika hanya nyamuk jantan maka telur tidak akan menetas. Strategi implementasi teknologi Wolbachia yang dilakukan di Yogyakarta adalah dengan meletakkan telur dan pakan nyamuk di dalam ember kecil yang diberikan air kemudian ditutup dan dititipkan kepada orang tua asuh. Setiap dua minggu sekali ember tersebut akan diambil untuk dibersihkan dan diisi lagi dengan telur yang baru serta diletakan pada tempat yang teduh. Strategi tersebut tidak dilakukan pada setiap rumah, melainkan satu ember dilakukan pada setiap radius 75-100 m².
Setelah 6-7 bulan dilakukan pemantauan dengan hasil sekitar 60% dari nyamuk Aedes aegypti di alam sudah ada Wolbachia, sehingga pelepasan telur nyamuk dihentikan. Nyamuk ber-Wolbachia akan terus ada karena berkembang biak di populasi alamnya. Proses untuk menghasilkan penelitian implementasi teknologi Wolbachia di Yogyakarta melalui beberapa fase, yaitu keamanan dan kelayakan, pelepasan skala kecil, dan pelepasan skala besar serta model implementasi. Setiap pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia mempunyai dua persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu dukungan stakeholder yang kuat dan adanya penerimaan masyarakat yang tinggi.
Penulis: Rifai