Politisi dan Aktivis Perempuan, Yenny Wahid, menandaskan pentingnya menghilangkan label gender pada kepemimpinan perempuan. Menurutnya, penting untuk melihat pemimpin sebagai seorang pemimpin, tanpa peduli lelaki atau perempuan.
“Jadi, kalau saya disebut women leader agak keberatan. Kalau saya dibilang pemimpin maka cukup disitu saja pemimpin, tidak perlu women leader karena male leader, pemimpin laki-laki tidak pernah ditaruh gender dibelakangnya,” ujarnya di Fisipol UGM, Jum’at (7/7) saat menjadi pembicara Fisipol Leadership Forum bertajuk Woman Political Leadership: To Unite What Male Politicians Have Divided.
Melihat bias gender yang masih terjadi, Yenny berharap semua saja bisa membiasakan agar kesetaraan gender langsung bisa dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Meski diakui tetap saja terdapat perbedaan antara pemimpin perempuan dan pemimpin laki-laki.
Salah satunya, menurutnya, adalah karakteristik perempuan yang mengedepankan pembangunan konsensus dan harmoni sehingga ketika menduduki posisi strategis maka seorang perempuan akan berusaha untuk mencari titik temu.
“Selain itu, kepemimpinan perempuan dalam politik merupakan hal yang penting karena hanya perempuan yang mampu dan mau memperjuangkan isu-isu yang penting bagi perempuan itu sendiri,” ucapnya.
Dalam kesempatan ini, Yenny Wahid juga memaparkan pengalamannya dalam menjalankan program Peace Village dari Wahid Foundation yang berfokus dalam memperjuangkan dan memberdayakan masyarakat desa, salah satunya memberdayakan perempuan-perempuan di desa.
Fisipol Leadership Forum bertajuk Woman Political Leadership: To Unite What Male Politicians Have Divided diselenggarakan Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (EC FISIPOL UGM). Disamping menghadirkan narasumber seorang politikus dan aktivis perempuan Zannuba Ariffah Chafsoh atau akrab disapa Yenny Wahid, dialog publik juga mengundang dua penanggap Desintha Dwi Asriani, Dosen Sosiologi Fisipol UGM dan Maskana Putri Salwa, Pimpinan Dema Fisipol UGM, dan dipandu Obed Kresna (Program Manajer PARES Indonesia).
Wawan Mas’udi, Ph.D selaku Dekan Fisipol UGM mengatakan Fisipol Leadership Forum (FLF) adalah forum untuk menghadirkan tokoh-tokoh yang memiliki gagasan dan kepemimpinan yang kuat. Keberadaan forum ini adalah untuk mendiseminasikan gagasan dan pengalaman kepemimpinan tersebut kepada segenap mahasiswa dan civitas akademika.
Forum ini diharapkan mampu berfungsi sebagai ranah diskusi yang membahas isu pemilu yang substantif ketimbang prosuderal, dengan mencoba melihat isu mendasar yang perlu untuk didiskusikan. Election Corner sebuah program penguatan demokrasi, baik dalam lingkup elektoral maupun dalam lingkup lebih luas.
“Program Election Corner ini akan berlangsung secara multi years hingga tahun 2024 dan setelahnya dengan sejumlah cakupan termasuk pendidikan kewargaan dan kepemiluan, Fisipol Leadership Forum (FLF), bedah program kandidat, kinerja penyelenggara pemilu, dan tema-tema lainnya yang terkait,” katanya.
Desintha Dwi Asriani dalam kesempatan ini memberikan refleksi pentingnya untuk melakukan undoing gender, terutama ketika perempuan ingin menduduki posisi strategis dalam jabatan publik. Menurutnya, kepemimpinan perempuan dalam menghadapi krisis dan bencana telah dibuktikan secara historis dalam sejarah manusia.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran terhadap woman empowerment tidak hanya oleh perempuan, namun juga oleh masyarakat di sekitarnya. Perlu ada usaha untuk mendorong penerimaan masyarakat terhadap woman empowerment yang akan bermuara pada keberhasilan perempuan sebagai pemimpin politik di Indonesia.
Maskana Putri Salwa sebagai perwakilan anak muda menyampaikan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh perempuan, dimana terdapat permasalahan internal terkait berupa keraguan perempuan dalam kualitas dan apa yang bisa ia capai, dan permasalahan eksternal, berupa stigma masyarakat yang mengkotakkan perempuan dalam kodrat dapur, sumur, kasur.
Penulis : Agung Nugroho