Yogya (KU) – Indonesia perlu untuk membuka lahan baru seluas 100 ribu hektar tiap tahun agar dapat berpeluang menjadi negara penyuplai produk pangan tropis dunia. Hal itu diperlukan guna mengatasi ketergantungan pangan dari luar negeri dan kualitas gizi masyarakat yang masih sangat rendah.
Demikian pendapat Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Dr. (H). Ir. Siswono Yudo Husodo, yang disampaikan dalam Seminar "Ketahanan Pangan dalam Perspektif Sejarah" di Gedung Pertemuan University Club, Rabu (5/5).
Untuk menjadi negara eksportir pangan terbesar dunia, Siswono menyarankan setiap petani menggarap lahan minimal 20-25 hektar. “Kita tidak ingin lahan pertanian yang digarap petani kita kian menyempit hingga kita sekarang jadi negara importir pangan,” ujarnya.
Dirinya mencontohkan salah satu sumber pangan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah sagu. Siswono menyebutkan luas lahan sagu yang ada di dunia hanya 2 juta hektar. Setengahnya atau satu juta hektar lahan sagu berada di wilayah Indonesia bagian timur. “3,5 juta ton sagu tiap tahun terbuang percuma karena pohon sagu yang sudah tua tumbang dengan sendirinya,” katanya.
Ketergantungan bangsa Indonesia dengan gandum sangat dikhawatirkan Siswono. Menurut hematnya, kondisi ini bentuk krisis pangan dengan adanya ketergantungan sagu dari Amerika dalam puluhan tahun. Dampaknya, kebutuhan pangan mi dan roti sangat bergantung pada bahan sagu impor tersebut. “Inilah hasil kebijakan bantuan gandum gratis Amerika pada tahun ’80-an. Sampai akhirnya, kita begitu bergantung dari gandum,” tambahnya.
Dikatakan Siswono bahwa potensi sumber pangan lain yang dapat dikembangkan adalah bidang perikanan, yang selama ini baru dimanfaatkan sebesar 8 persen. Menurutnya, beberapa potensi pangan yang dapat dimanfaatkan, antara lain, beras, kopi, coklat, jambu mete, jagung, karet, lada putih, lada hitam, pala, CPO, cengkeh, teh, dan minyak atsiri.
Seminar hasil kerja sama Direktorat Geografi Sejarah Kemenbudpar RI dan Jurusan Sejarah UGM ini menghadirkan narasumber lain, yakni sejarawan UGM, Prof. Dr. Djoko Suryo, antropolog UGM, Dr. Pujo Semedi, Guru Besar Sejarah Undip, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, dan Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unila, Prof. Dr. Bustanul Arifin. (Humas UGM/Gusti Grehenson)