UGM, University of Oslo (Uio), dan University of Agder (UiA) melakukan kerja sama riset tentang kesejahteraan sosial dan demokrasi Indonesia yang dimulai pada tahun 2012 silam.
Setelah menyelesaikan serangkaian penelitian hingga akhir 2017, para peneliti menghasilkan berbagai hasil riset yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pengembangan demokrasi serta peningkatan kesejahteraan.
“Program ini bertujuan untuk melihat perkembangan juga menemukan persoalan dalam demokratisasi, serta menunjukkan elemen kritis untuk agenda ke depan,” ujar Dekan FISIPOL UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, dalam seminar diseminasi hasil riset yang diadakan pada Senin (12/3) di Gedung Pusat UGM.
Riset yang dilakukan para peneliti ini mengangkat tema besar Popular Control and Effective Welfarism (PACER) dan dibagi ke dalam dua kelompok riset, yaitu Power Welfare and Democray (PWD) dan In Search of Balance (ISB). Program ini, jelas Erwan, diwujudkan dalam berbagai aktivitas seperti studi tematik terkait isu-isu seperti kewarganegaraan dan rezim kesejahteraan, networking and database, publikasi dan diseminasi, serta beasiswa untuk jenjang master dan doktoral.
Dalam kurun 5 tahun, aktivitas PWD telah menghasilkan Democracy Baseline Survey yang menilai konteks spesifik dari demokratisasi di seluruh provinsi di Indonesia, 2 laporan riset terkait penurunan emisi dari deforestasi dan perusakan hutan, 24 artikel jurnal, 9 buku, 3 monograf, dan serangkaian aktivitas publik.
Erwan menambahkan, agenda lanjutan yang potensial untuk dikerjakan dalam waktu mendatang termasuk membangun program master interdisipliner yang menghubungkan mahasiswa dari berbagai fakultas. Selain itu, juga aktivis dari berbagai bidang kerja untuk mempelajari dan menangani berbagai isu publik, seperti demokratisasi, penciptaan kesejahteraan, serta keberlanjutan lingkungan.
“Selain itu, bisa juga dibangun aktivisme berbasis kampus melalui program kewirausahaan sosial yang memfasilitasi mahasiswa dari berbagai fakultas untuk menginisiasi dan mengembangkan solusi kreatif untuk isu-isu sosial, termasuk persoalan terkait lingkungan,” jelas Erwan.
Dalam seminar ini, salah satu peneliti dari UGM, Linda Yanti Sulistiawati, memaparkan hasil penelitiannya terkait implementasi pluralisme hukum di wilayah Indonesia Timur dengan studi kasus pada masyarakat di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
“Seperti halnya dengan kebanyakan wilayah di Pulau Flores, kehidupan sosial di Manggarai didasarkan pada hukum yang khusus dengan berbagai hak adat yang memberikan otoritas pada penduduk asli untuk mengatur dan mengalokasikan sumber daya alam pada teritori komunal mereka,” ujar Linda.
Penerapan hukum adat dalam sistem pluralisme hukum di Indonesia, jelasnya, cukup banyak ditemui di Indonesia. Meski hukum negara tetap lebih tinggi dari hukum adat, argumen yang mengemuka adalah bahwa hukum adat juga bisa memperkuat hukum negara dan pemerintahan Indonesia. Meski demikian, menurutnya, implementasi pluralisme hukum tersebut tidak sedikit memunculkan konflik adat, termasuk akibat kepemilikan tanah adat yang tidak memiliki batas, dokumen, serta metode perpindahan tangan yang jelas.
Untuk mengatasi hal tersebut, Linda menyebutkan beberapa opsi resolusi konflik, di antaranya melalui negosiasi, mediasi, serta abritasi oleh para tua-tua adat, atau melalui prosedur hukum negara, tergantung dari kompleksitas kasus, latar belakangnya, serta pihak yang terlibat. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)