“Apakah pemuda Indonesia sudah melanggar sumpah pemuda ?” tanya Prof. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM kepada peserta Konferensi Peringatan 90 Tahun Sumpah Pemuda di Balai Senat, UGM.
Pertanyaan tersebut ia lontarkan dalam sambutannya pada acara yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM pada Sabtu (27/10). Djagal menanyakan hal itu setelah melihat kondisi pemuda Indonesia sekarang ini. Ia menyebutkan bahwa berdasarkan data dari beberapa lembaga riset, memang sebagian pemuda Indonesia dinyatakan sudah melanggar Sumpah Pemuda.
Lebih lanjut, Djagal memaparkan berdasarkan data dari Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), ketahanan nasional Indonesia masuk dalam kategori kuning, dalam arti rawan. Hal itu karena beberapa gatra di dalamnya, seperti ketahanan ideologi, sosial budaya, politik, dan sumber daya alam juga dalam kategori kuning.
“Ada benang merah di sana, jika suatu bangsa tidak memiliki ideologi maka pandangan tentang sosial budaya, politik, serta SDA juga terancam,” jelasnya.
Sebagai solusi, Djagal memberi sebuah analogi tentang ikan. “Ikan yang seumur hidupnya berada di laut, ketika dimakan dagingnya tidak terasa asin karena ia memiliki sistem biofilter dalam tubuhnya. Pemuda Indonesia juga harusnya semacam itu, perlu sebuah biofilter agar pemuda Indonesia tetap mempertahankan sumpahnya baik sekarang atau 90 tahu lalu,” tuturnya.
Menurutnya, walaupun di era milenial seperti sekarang, idealisme pemuda Indonesia harus tetap sama jika mereka masih berkomitmen menjadi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Djagal menyatakan bahwa melalui acara ini biofilter itu dapat dirumuskan.
Sementara itu, Menteri Sekretasi Negara RI, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., menyatakan hal yang harus dilakukan sekarang tidak hanya mengulang kembali deklarasi yang dilantangkan 90 tahun lalu itu. “Dulu, Sumpah Pemuda tidak hanya bermakna sebagai deklarasi saja. Namun, itu menjadi semangat yang membakar perjuangan, konsistensi, dan kolaborasi luar biasa bangsa Indonesia sehingga 17 tahun setelahnya bisa mencapai kemerdekaan,” ujarnya.
Pratikno menjelaskan bahwa rangkaian peristiwa dari Sumpah Pemuda hingga perjuangan revolusi Indonesia merupakan pertautan mimpi besar dan perjuangan besar, atau smart ideas dan smart execution. “Tanpa eksekusi yang tepat, tidak akan ada perubahan selama 90 tahun ini,” tegasnya.
Ia kemudian mencontohkan pemerataan pembangunan, membangun dari pinggiran, dan pengentasan kemiskinan sebagai smart ideas seperti Sumpah Pemuda. Lalu, pembangunan transportasi laut seperti tol laut yang menghubungakan tiap dermaga kecil di Indonesia, sebagai sebuah smart execution.
“Membangun konektivitas semacam ini juga merupakan salah satu eksekusi dari Sumpah Pemuda, jadi tidak cukup dengan berteriak bersatu saja,” terangnya.
Oleh karena itu, Pratikno mengingatkan para pemuda Indonesia untuk mengembangkan smart ideas dan smart execution dari Sumpah Pemuda sesuai konteks zaman sekarang. “Ambil inti sarinya, yakni mencintai, bangga, dan memperjuangkan persatuan Indonesia,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)