Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Prof. Yohanna Susana Yembise, mengatakan satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual. Bahkan, 1 dari 10 perempuan pernah mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Oleh karena itu, untuk menurunkan angka kekerasan fisik dan seksual ini, kementeriannya berencana melaksanakan program untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Program kita, akhiri kekerasan terhadap perempuan, akhiri perdagangan manusia saat perempuan dan anak jadi korban, dan akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan,” kata Menteri Yohanna saat memberikan kuliah umum di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, Jumat (9/11).
Dalam penyampaian kuliah umum yang diselenggarakan Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana Fakultas Geografi yang bertajuk Gender Equality Dalam Era Digital Innovation di Indonesia ini, Menteri Yohanna mengatakan untuk menurunkan angka kekerasan perempuan dan anak ini pihaknya menggandeng warga kampus untuk berkomitmen menjadi kampus yang responsif gender agar ramah terhadap perempuan dan anak. “Harus kita dorong agar universitas responsif gender,” kata Yohanna.
Menurutnya, program yang sama sudah dilakukan di 10 ribu sekolah di Indonesia yang sudah melaksanakan program sekolah responsif gender. “Kami akan meluncurkan beberapa universitas untuk responsif gender, tidak ada lagi kejahatan dan kekerasan perempuan dan anak,” katanya.
Soal kekerasan pada anak, kata Menteri, kuncinya ada pada keluarga. Menurutnya, orang tua harus responsif untuk melindungi anaknya jangan sampai melakukan perbuatan dan perilaku yang menyimpang. “Jangan sampai melakukan hal yang salah dalam kehidupan mereka, seperti kebiasaan mengisap lem aibon atau zat adiktif lainnya, apalagi mengonsumsi air rebusan pembalut,” ujarnya.
Selain soal kekerasan pada perempuan dan anak, Menteri Yohanna juga menyoroti angka partisipasi kerja perempuan yang mengalami penurunan. Ia menyebutkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan saat ini sebesar 48,87 % dibanding laki-laki yang mencapai 82,71 persen. Menurutnya, ada kecenderungan perempuan setelah lulus pendidikan memilih bekerja di sektor domestik. Padahal, pemerintah menargetkan pada 2030, angka kesetaraan gender yaitu rasio perempuan dan laki-laki adalah sama. “Setelah lulus perempuan banyak lari ke domestik. Yang saya sayangkan, biaya yang keluar selama pendidikan apabila semua masuk ke domestik. Tantangan saya membawa 126 juta perempuan Indonesia ke program planet 50:50 pada tahun 2030,” katanya.
Untuk mendukung kesetaraan gender melalui program planet 50:50 itu, pihaknya akan menggandeng universitas untuk mendorong alumninya yang perempuan bekerja di sektor publik. “Saya akan cari universitas mana yang sampai 50:50 atau provinsi mana yang sampai 50:50,” katanya.
Ia menjelaskan perempuan berpotensi untuk memberikan kontribusi pada sektor perekonomian. Selama ini, kontribusi perempuan pada ekonomi baru sebesar 35,53 persen. Padahal, apabila tingkat partisipasi angkatan kera perempuan dinaikkan menjadi 64 persen seperti Thailand maka akan terdapat 20 juta angkatan kerja semi-skilled dan skilled baru.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan UGM, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno M.Agr., mengatakan salah satu persoalan demografi di Indonesia adalah soal kualitas sumber daya manusia termasuk dalam hal ini kelompok perempuan yang dinilai belum begitu dominan dalam pembangunan. Menurutnya, di negara maju atau setidaknya di Pakistan, misalnya, peranan wanita begitu dominan. “Peraih nobel Muhammad Yunus mendekati wanita mendorong pembangunan pedesaan, ketika wanita diberi investasi modal maka akan digunakan untuk modal usaha,” katanya.
Djagal berpendapat bonus demografi yang dimiliki oleh Indonesia saat ini harus dikelola dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa. “Jangan sampai mereka yang usia produktif tidak bekerja, menganggur dan putus asa,” katanya.(Humas UGM/Gusti Grehenson)