Batik biasanya ditorehkan di atas kain, namun kita bisa menemukannya pada media kayu. Provinsi DIY memiliki dua desa wisata penghasil kerajinan batik kayu yakni desa wisata Krebet, Pajangan, Bantul dan Desa Wisata Bobung, Gunung Kidul. Kedua desa ini dikenal sebagai penghasil produk kerajinan tangan batik dari bahan kayu. Meski dari usaha kerajinan ini memberikan dampak perekonomian masyarakat setempat, namun produksi kerajinan batik kayu ini masih mengandalkan permintaan pasar yang berlaku musiman untuk diekspor atau dijual di dalam negeri.
Isu lingkungan menjadi tantangan bagi usaha kerajinan batik kayu ini di masa mendatang. Pasalnya, penggunaan pewarna batik dan limbah kerajinan kayu batik mengandung bahan kimia sehingga perlu untuk diatasi agar isu lingkungan tidak menjadi hambatan dalam memperluas jangkauan produk tersebut di luar negeri.
Dosen Fakultas Geografi UGM, Dr. Dyah Widiyastuti, menyampaikan terkait limbah pengolahan batik kayu ini memang belum terjadi kerusakan lingkungan yang disebabkan dari buangan limbah kerajinan tersebut. Oleh karana itu, proses pewarnaan batik kayu yang mengandung bahan kimia berbahaya perlu dikelola melalui unit pengolahan limbah. “Sementara ini kedua desa ini belum memiliki unit pengolahan limbah baik limbah cair maupun padat,” kata Dyah dalam diskusi soal pengembangan pariwisata batik kayu di Pusat Studi Pariwisata UGM, Senin (12/11).
Ia menerangkan desa wisata batik kayu di Krebet Bantul dan Bobung, Gunungkidul, merupakan jenis wisata minat khusus. Apabila dikelola dengan baik proses pengolahan limbahnya bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan. “Wisatawan perlu diedukasi bahwa limbah batik kayu ramah lingkungan dan potensi menjadi daya tarik wisata,” katanya.
Dalam penelitiannya soal pencermaran limbah kerajinan batik kayu ini, belum ditemukan dampak lingkungan yang ditimbulkan di sekitar lokasi pembuangan limbah yang menurutnya masih jauh dari sungai dan sumur. “Tim peneliti hanya mengambil sampel berupa tanah yang ada di sekitar area produksi,” ujarnya.
Mukhlison, S.Hut., M.Sc., anggota tim peneliti lainnya dari Fakultas Kehutanan, mengakui isu lingkungan kemungkinan bisa menjadi hambatan dalam pemasaran produk ini. Untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pencemaran lingkungan dari limbah yang dihasilkan pihaknya melakukan penelitian sampel buangan limbah dan mendorong pendirian unit pengolahan limbah di dua desa tersebut. “Harapan kita aktivitas pengolahan limbah ini bisa menjadi antraksi wisata,” katanya.
Dari hasil uji sampel yang diteliti, Mukhlison menyebutkan ada 16 parameter zat limbah yang diukur, namun ada lima zat yang dianggap melebihi batas baku mutu yang berasal dari limbah cair, yakni zat COD (chemical oxygen demand), amonia, BOD (biologixal oxygen demand), total dissolved solids, da total suspended solids. Namun begitu, katanya, limbah ini umumnya terurai dalam tanah.
Dalam penelitian identifikasi profil pengrajin batik kayu ini, Dyah menuturkan para pengrajin batik kayu ini rata-rata laki-laki. Di Desa Krebet sekitar 88 persen laki-laki dan 11 persen sisanya adalah perempuan. Sementara di Desa Bobung sekitar 63 persen laki-laki dan 37 persen adalah perempuan. Usia pengrajian rata-rata 20-55 tahun. Keahlian dalam usaha membuat kerajinan batik didapat dari pengalaman kerja atau belajar dari rekan kerjanya. “Umumnya banyak dikerjakan sendiri, hampir semua memiliki keterampilan yang sama,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson; foto: yogyatrip.com)