Perkembangan penyebaran Covid-19 yang telah merambah ke berbagai kota di nusantara membuat banyak sekolah mulai menerapkan sistem belajar secara daring. Langkah serupa juga diambil oleh beberapa perkantoran.
Situasi ini memberikan waktu yang lebih banyak bagi keluarga untuk berinteraksi di rumah. Meski demikian, keterbatasan aktivitas di rumah dapat menimbulkan kebosanan yang membuat anak menjadi rewel dan membuat orang tua emosional, serta memunculkan kebiasaan yang kurang sehat seperti makan dan tidur yang tidak teratur serta penggunaan gadget secara berlebihan.
“Kondisi ini tentunya menimbulkan berbagai pengaruh, bisa pengaruh positif dan bisa pula pengaruh negatif, tergantung pada keadaan masing-masing keluarga serta bagaimana keluarga tersebut menyikapinya,” tutur Dosen Fakultas Psikologi UGM, Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si.
Ia menuturkan, setiap keluarga bisa memilih jenis aktivitas untuk dilakukan bersama selama masa belajar di rumah. Orang tua, terutama yang memiliki anak kecil, menurutnya perlu memiliki kondisi fisik dan emosi yang prima untuk bisa mendampingi anak-anak karena jika anak-anak masih kecil tantangannya adalah melayani mereka baik secara fisik maupun verbal.
Untuk itu, orang tua harus saling bekerja sama satu sama lain, dan mengajak anak yang lebih besar untuk membantu menjaga adiknya atau mengerjakan pekerjaan rumah.
“Ajak anak-anak, sekecil apapun, untuk peduli dan mengerjakan bagian yang bisa mereka lakukan, misalnya membereskan mainan, makan sendiri tanpa disuapi, dan sebagainya. Dengan demikian, kondisi ini justru akan mengajarkan keterampilan-keterampilan baru kepada anak,” paparnya.
Orang tua sebaiknya juga menetapkan jadwal untuk belajar, istirahat, makan, dan sebisa mungkin menepatinya, meskipun tetap ada fleksibilitas. Hal ini bertujuan agar anak tidak kehilangan struktur selama masa belajar di rumah, dan tetap terbiasa dengan rutinitas yang sehat.
Untuk membuat anak tidak bosan, ia menyarankan agar orang tua menyediakan bahan-bahan atau material yang tidak harus dibeli, seperti botol dan tutup botol, kertas dan dus bekas, atau benda-benda tak terpakai lainnya yang ada di rumah.
“Aktivitas fisik bersama misalnya senam atau menari juga bagus dilakukan karena di samping fun juga sekalian untuk olahraga,” imbuh Sutarimah.
Jika anak-anak sudah remaja atau mendekati dewasa, tantangan fisik mungkin sudah tidak ada. Namun, biasanya anak remaja cenderung lebih sulit diatur, dan konflik orangtua-anak mungkin timbul karena anak tidak mengikuti rutinitas yang seharusnya, seperti tidur larut malam karena main games, tidak tertib dalam ibadah dan makan, atau anak tidak mau belajar dan hanya menghabiskan waktunya untuk main gadget dan tidak mau terlibat dengan kegiatan di rumah.
Masalah ini, menurutnya, juga tidak sederhana karena jika konflik berlangsung intens, anak mungkin saja justru memilih pergi dari rumah dan berkumpul dengan teman-temannya, yang justru mendatangkan masalah baru.
“Tipsnya saya rasa orang tua perlu menjalin komunikasi dengan anak, mau mendengarkan anak dan mengajak mereka untuk berbicara, meminta pengertian dan kerja sama anak, dan memberi penguatan saat anak menunjukkan perilaku yang positif. Sebisa mungkin hindari komunikasi yang sifatnya mencereweti, ajak anak untuk berdialog dua arah,” jelasnya.
Kalau orang tua memiliki waktu luang, ia menyarankan agar mereka dapat bermain bersama anak remaja, menyepakati pembagian tugas dalam keluarga, dan melibatkan anak dalam kegiatan rumah tangga.
“Jika keluarga dapat mengelola kondisi dengan baik, maka dapat mendatangkan pengaruh positif dan kesehatan mental akan terjaga. Jangan lupa untuk mengajak anak, berapapun usianya yang sudah mengerti, untuk berdialog tentang situasi terkini dengan bahasa dan konten yang sesuai usia anak,” kata Sutarimah.
Penulis: Gloria