
Penetrasi internet di Indonesia pada tahun 2018 telah mencapai separuh jumlah penduduk, baik yang tinggal di kota besar maupun pedesaan. Selain membuka akses yang lebih luas terhadap pengetahuan, kemajuan teknologi telekomunikasi juga turut berperan dalam mengembangkan perekonomian masyarakat desa.
“Di luar dugaan, digitalisasi di Indonesia sudah cukup mengakar. Kalau Saudara cek, penginapan di Gunung Kidul dan kabupaten lain sudah ada yang masuk Air BNB, UMKM kecil juga sudah bisa memasarkan produk-produk mereka melalui sosial media. Ini potensi dari ekonomi digital,” ujar Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc., Kamis (3/5) di FEB UGM.
Hal ini ia sampaikan dalam seri forum kebijakan publik tahunan bertajuk Mubyarto Public Policy Forum yang diselenggarakan FEB UGM bekerja sama dengan Australian National University (AUN) Indonesia Project. Dalam acara ini, Sri Adiningsih menyampaikan pidato kunci berjudul “Digital Role in Rural Development and Reducing Inequality”.
Ia menuturkan, dalam beberapa tahun terakhir pembangunan ekonomi telah berhasil mengurangi tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan di kawasan pedesaan. Namun demikian, jumlahnya masih relatif tinggi sehingga pemerintah harus terus melakukan upaya percepatan pembangunan dari pinggiran seperti yang tertuang dalam Nawacita.
Di saat yang sama, ekonomi digital menjadi sesuatu yang semakin umum ditemukan di area pedesaan di berbagai provinsi di Indonesia, dan dengan demikian membuka lebar kesempatan dan potensi pembangunan ekonomi pedesaan melalui sektor tersebut.
“Beberapa program pembangunan dari pinggiran sudah menunjukkan hasilnya, tapi memang masih perlu didorong lagi, salah satunya dengan ekonomi digital. Kita punya potensi yang sangat besar untuk berkembang pesat, dan saya yakin masyarakat Indonesia siap untuk itu,” imbuh guru besar FEB UGM ini.
Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat desa melalui digital ekonomi, diperlukan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, akademisi, masyarakat, pebisnis, hingga LSM. Ia juga menekankan pentingnya peran dari generasi muda, termasuk mereka yang saat ini masih duduk di bangku kuliah, untuk berperan aktif membangun iklim ekonomi digital yang positif dan bermanfaat bagi kepentingan nasional.
“Pemerintah terus mengembangkan environment, mengembangkan software, dan juga melakukan pemberdayaan. Tapi kita tidak bisa melakukan transformasi pemberdayaan desa tanpa dukungan semua pihak. Kalau generasi muda bisa berpartisipasi aktif maka kita bisa menyambut ekonomi digital yang pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan dan ketimpangan di desa,” kata Sri.
Seri forum kebijakan publik yang menghadirkan akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan lain ini mengambil nama salah satu guru besar FEB UGM yang menekuni bidang ekonomi kerakyatan, yaitu Mubyarto. Selain Sri Adiningsih, dalam kuliah ini turut dihadirkan beberapa pakar ekonomi lainnya, seperti Chief Economist, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Prof. Fukunari Kimura dan mantan kepala Bappenas, Prof. Armida Alisjahbana. (Humas UGM/Gloria)