Pakar hukum pidana UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum menilai penundaan eksekusi terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso tepat. Hal ini terkait dengan munculnya Maria Kristina Sergio yang mengaku sebagai perekrut Mary Jane. Menurut Marcus jika nantinya ditemukan fakta hukum baru maka dimungkinkan munculnya putusan baru dari pengadilan.
“Jika benar yang mengaku itu adalah perekrut Mary Jane dan memperdaya membawa heroin ke Indonesia maka muncul fakta hukum baru,” papar Marcus kepada wartawan, Rabu (29/4) di R. Fortakgama.
Marcus mencontohkan fakta hukum baru tersebut antara lain apakah Mary Jane memang benar-benar diperdaya untuk membawa heroin ke Indonesia atau tidak. Ia berpandangan jika kepastian hukum dibenturkan dengan keadilan maka lebih tepat jika keadilan diutamakan. Selain itu, eksekusi hukuman mati menurut Marcus penuh dengan risiko. Jika salah, eksekusi mati tidak bisa diperbaiki.
“Karena menyangkut nyawa seseorang tentu tidak bisa diperbaiki,” katanya.
Siapa pun menurut Marcus nantinya tetap harus menghormati putusan pengadilan dengan kemungkinan munculnya fakta hukum baru tersebut. Ia menilai pemeriksaan Mary Jane sebaiknya tetap dilakukan di Indonesia karena kasus ini telah merugikan negara.
“Untuk mendapatkan keadilan prinsipnya tidak bisa dibatasi. Kita juga jangan sampai mengikuti putusan hakim yang ‘sesat’,” tegas Marcus.
Sementara itu pengamat hubungan internasional UGM, Muhadi Sugiono, M.A. berpendapat penundaan eksekusi mati Mary Jane lebih disebabkan konteks kedekatan Indonesia dan Filipina di forum ASEAN. Sayangnya, dalam kasus eksekusi mati ini Indonesia gagal untuk mensinkronkan antara isu kedaulatan negara dan HAM.
“Indonesia belum berhasil memperoleh rumusan dua hal itu agar lebih sinkron. Kita seakan-akan lebih mementingkan kedaulatan negara dan mengesampingkan HAM,” kata Muhadi.
Muhadi menilai Indonesia harus siap dengan konsekuensi eksekusi mati beberapa warga asing ini. Benih-benih persoalan sebenarnya telah muncul ketika ada penolakan duta besar Indonesia di Brazil maupun protes dari pemerintah Australia. “Secara pribadi saya tidak antusias dengan hukuman mati. Jangan sampai eksekusi mati ini jadi satu-satunya cara agar kita dianggap independen dan berdaulat,” pungkas Muhadi. (Humas UGM/Satria)