Negara yang miskin sumber daya alam dapat menumpuk kekayaan ekonomi dengan memobilisasi dan mendinamisasi kekayaan dan ketangguhan budayanya. Hal itu terutama dapat dilakukan melalui etos kerja produktifnya, keterbukaannya terhadap ilmu pengetahuan, kreativitasnya dan penyalurannya untuk membangun dan mengembangkan teknologi. Teknologi adalah produk budaya. Subak, misalnya, merupakan teknologi pengairan lahan pertanian dan terasering yang gemilang, serta mendapat pengakuan UNESCO sebagai situs warisan dunia.
“Teknologi canggih dilahirkan karena manusia mengejarnya untuk memenuhi aspirasi sosial-ekonomi dan sosial-kulturalnya, serta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,” papar Prof. Dr. Sri Edi Swasono Nitidiningrat pada malam orasi penerima Anugerah HB IX dalam rangka peringatan Dies Natalis ke-64 UGM, Kamis (19/12) malam di Bangsal Srimanganti, Keraton, Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada kesempatan itu Sri Edi Swasono membawakan pidato orasinya berjudul Kebersamaan dan Asas Kebudayaan Ekonomi dan Budaya.
Teknologi bisa menjadi modal ekonomi yang tangguh. Sebab, teknologi melahirkan korporasi-korporasi kapitalistik terutama teknologi pengelolaan dana, teknologi manajemen dan teknologi bersaing. Teknologi; baik yang berupa sistem pengaturan, sains terapan atau sistem aplikasi praktis pengetahuan dan pengalaman teknis; merupakan komoditi yang dapat tetap terpelihara sebagai rahasia monopolistik dan menjadi paten atau intellectual property right (HAKI) yang mahal.
“Perekonomian bila tidak diatur dapat mengerucut membentuk konsentrasi pemilikan aset ekonomi pada sekelompok kecil masyarakat, yang menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi dan merusak kohesi nasional,”paparnya.
Oleh karena itulah, kata Sri Edi Swasono, untuk menghindarkan berbagai ketergantungan, kesenjangan, ketimpangan dan berbagai bentrokan kepentingan dalam kooperativisme perlu ada kebijaksanaan teknologi nasional. Dengan kooperativisme berikut rasa kebersamaan dan kekeluargaan, penyebaran teknologi dan derivatnya secara vertikal dan horizontal lebih sinergis, adil, dan merata.
Sementara itu, penerima anugerah HB IX lainnya, Hj. Ciptaning Utaryo menyampaikan paparan tentang Karya Sosial Kemanusiaan Fokus Pada Upaya Mewujudkan Hak-hak Anak. Ciptaning menilai berbagai UU dan Peraturan Perundang-Undangan telah ditetapkan dengan baik, namun dalam kenyataannya pelaksanaannya masih banyak yang harus dicapai melalui perjalanan dan perjuangan panjang. Di bidang hukum, misalnya, perlu diperhatikan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum baik korban maupun pelaku perlu ada penanganan khusus pada saat proses penyidikan oleh polisi. “Di lapangan para relawan sosial masyarakat sebagai mitra kerja pemerintah sering dihadapkan pada persoalan yang rumit dan banyak melakukan advokasi,” ujar Ciptaning.
Sebelumnya Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X dalam sambutannya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Sri Edi Swasono dan Ciptaning Utaryo atas pengabdiannya kepada masyarakat. Ciptaning Utaryo menurut Sri Sultan selama ini dikenal atas pengabdiannya pada permasalahan anak, remaja serta keluarga. Sementara itu, Sri Edi Swasono dikenal atas pemikiran ekonominya yang melawas arus.
”Bu Ciptaning banyak menekankan adanya niat, itikad dan nekat sebagai seorang relawan sosial. Sedangkan pak Sri Edi dikenal karena pemikiran ekonominya yang melawan arus atau marketing paradoks,” kata Sri Sultan HB X. (Humas UGM/Satria)