
Tulisan ini merupakan klarifikasi atas rilis pada laman UGM tanggal 29 Juli 2011 berjudul Mengubah Kemiskinan menjadi Daya Tarik Wisata. Tulisan ini sekaligus merupakan respon terhadap keberatan Hendrie Adji Kusworo (dosen pada Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol dan Program Studi Kajian Kepariwisataan Sekolah Pascasarjana, peneliti pada Pusat Studi Pariwisata UGM), atas artikel dan komentar pembaca yang mengenai dirinya tersebut. Tulisan yang disarikan dari wawancara langsung maupun tertulis ini diharapkan dapat memfasilitasi diskusi yang lebih produktif Link artikel
1. Alasan keberatan?
Ada 3 hal yang kurang mendapat perhatian pada rilis tersebut. Pertama, pengantar lisan sebelum saya memaparkan paper berjudul Living Atrocity Tourism: Revisiting Motivation towards Institutionalization of Poverty Tourism pada diskusi ilmiah di Pusat Studi Pariwisata-UGM. Kedua, pokok-pokok pikiran paper yang dibagikan kepada peserta. Ketiga, konteks diskusi yang terjadi sesudahnya. Sebelum memaparkan pokok pikiran yang mencerminkan posisi intelektual saya, secara lisan saya jelaskan bahwa paper ini merupakan sebagian kecil dari usaha besar memahami dan menjelaskan keterkaitan antara kemiskinan dan pariwisata. Paper ini merupakan bagian (chapter) dari karya tulis berjudul POVERTY ALLEVIATION THROUGH TOURISM, An institutional entrepreneurship perspective, contexts, actors and innovation. Pada bagian lain saya mengkaji dimensi etik dan paradoks dari poverty tourism yang secara terbatas saya singgung dalam pengantar diskusi.
2. Apa urgensi topik/kajian ini?
Topik ini menjadi penting karena faktanya kini selain kemiskinan dipandang sebagai masalah sosial yang umumnya ingin dihapuskan, juga dipandang sebagai daya tarik wisata. Pariwisata dan penghapusan kemiskinan sejak lama telah menjadi perhatian saya. Di samping isu etik yang saya yakini menjadi bagian tak terpisahkan dari topik ini, secara khusus paper tersebut mengkaji fenomena poverty tourism (poorism) – pariwisata yang menjadikan fenomena kemiskinan dengan semua atributnya sebagai daya tarik wisata. Penting untuk dicatat bahwa saat ini kegiatan wisata sudah jauh berkembang dibanding masa awal pertumbuhannya. Di kalangan wisatawan sedang terjadi perubahan karakter psikografis dan demografis. Bila pada masa lalu berwisata berkaitan dengan rekreasi dan hedonisme, saat ini berkaitan pula dengan pengayaan hidup bahkan ekspresi voluntarisme dan altruisme. Penting pula dicatat bahwa di kalangan pengusaha pariwisata sedang tumbuh semangat tanggung jawab sosial. Di kalangan masyarakat – termasuk kelompok miskin, sedang tumbuh semangat keberdayaan yang memberi ruang lebih luas pada aktualisasi diri (internalitas) di hadapan kepedulian wisatawan dan pengusaha pariwisata (eksternalitas). Perubahan-perubahan tersebut dapat menemukan momentum percepatan dan interaksinya dalam arena yang disebut poverty tourism ini. Meski disertai pro dan kontra, fenomena poverty tourism sebagaimana muncul di India, Brasil dan Afrika Selatan kini menjadi fenomena peradaban dan kemanusiaan tak terbantahkan. Dalam konteks ini saya melihat urgensi kajian poverty tourism.
3. Poverty tourism di Indonesia?
Dalam intensitas terbatas, fenomena poverty tourism telah muncul di Indonesia. Dalam format dan kemasan yang halus saya menyaksikan dioperasikannya poverty tourism ini di beberapa kota. Hal ini telah memunculkan pro dan kontra. Pernyataan penolakan dan dukungan dikembangkannya poverty tourism dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dan beberapa pihak termasuk pekerja sosial masyarakat dan operator kegiatan wisata menggaris bawahi tengara tersebut. Di tengah perubahan-perubahan yang sudah saya sampaikan tadi, bukan tidak mungkin fenomena ini akan berkembang. Mengingat karakter poverty tourism dan masyarakat Indonesia, saya menduga perdebatan atasnya juga akan semakin berkembang. Hal-hal itulah yang mendorong saya untuk mempelajari dan mencari alternatif solusi atas masalah yang timbul.
4. Penjelasan teoretis keterkaitan kemiskinan dan pariwisata ?
Dalam pariwisata dikenal dua area penting: front stage (area depan – pada umumnya mudah diakses wisatawan) dan back stage (area belakang – pada umumnya relatif tersembunyi dari wisatawan). Selama ini kemiskinan lebih ditempatkan di back stage, terpisah dari kegiatan pariwisata. Selain teori umum munculnya kemiskinan sebagaimana kita peroleh dalam buku-buku teks masalah sosial, ada penjelasan kritis yang meyakini bahwa kemiskinan disebabkan oleh kegiatan pariwisata. Dalam ranah ekonomi, naiknya harga-harga komoditas kebutuhan masyarakat yang dipicu oleh tingginya daya beli wisatawan, komersialisasi sumber daya untuk kegiatan pariwisata, tata industri pariwisata yang sebangun dengan industri lain serta eksploitasi sumber daya dalam skim pasar bebas menjadi basis argumen ini. Di lain sisi, fenomena multiplier effect melalui backward linkages (keterkaitan ke belakang) dan forward linkages (keterkaitan ke depan) serta kemampuan mendorong proses distribusi dan redistribusi pendapatan menjadi dasar argumen bahwa pariwisata adalah alat memerangi kemiskinan – apapun sebabnya. Dalam konteks pembangunan pariwisata konvensional, meskipun pengakuan atas kemiskinan merupakan hal jamak, ia disembunyikan dari pandangan wisatawan karena mengindikasikan kekumuhan dan ketidaknyamanan. Fenomena poverty tourism mencerminkan posisi baru kemiskinan di front stage. Ia bukan lagi menjadi fenomena sekunder yang disembunyikan melainkan primer – sebagai daya tarik wisata yang ditampilkan. Penyebab, proses dan implikasi perubahan ini tentu sangat kompleks. Diskusi dan perdebatan ilmiah semestinya diarahkan pula untuk memahami posisi baru ini.
5. Posisi Pak Adji?
Saat ini saya sedang mengkaji konsep-konsep yang berhubungan dengan poverty tourism dan lebih khusus motivasi wisatawan. Di tengah keterbatasan informasi, saya menawarkan pendekatan dan konsep alternatif yang memperhatikan isu kemanusiaan dengan mengakomodasi dimensi responsiveness dan nowness. Konsep yang banyak dipakai dalam diskusi poverty tourism saat ini adalah black-spot tourism, thana tourism dan dark tourism. Konsep ini umumnya berhubungan dengan kuburan (grave), kekerasan (violence) dan kematian (death) sebagai daya tarik statis/mati. Meski dilahirkan dalam diskursus (built) heritage tourism, konsep atrocity tourism yang bergayut dengan penderitaan dan trauma menurut pandangan saya lebih sesuai untuk menjelaskan fenomena poverty tourism. Saya menambahkan kata living di depan atrocity tourism untuk merangkum aksen dinamika dan dialektika pada sisi penarik (pull). Pada sisi pendorong (push), motivasi wisatawan mengunjungi atrocity tourism site yang meliputi hiburan, keingintahuan, identifikasi diri, edukasi dan empati saya pandang lebih sesuai. Pada aras ini konsep voluntarisme, altruisme, keberdayaan, aktualisasi potensi diri, kepedulian dan tanggung jawab sosial dapat berinteraksi. Fenomena berwisata di daerah bencana bisa dijelaskan dari sudut pandang ini. Bila poverty tourism pada akhirnya merupakan fenomena peradaban tak terbantahkan perkembangannya, konsep living atrocity tourism dapat terus mengintegrasikan dimensi kemanusiaan dalam pengembangan teori maupun praksisnya.
Sebagai orang yang belajar Leisure and Tourism dalam kerangka Social development and welfare sejak lama saya berkeyakinan bahwa kajian dan pembangunan pariwisata semestinya dikaitkan dengan kesejahteraan untuk melengkapkan kemanusian pelakunya baik sebagai wisatawan (guest) maupun tuan rumah (host). Hasil penelitian kecil-kecilan saya tentang Sekolah dan Pariwisata tahun 1999 dan paper untuk diskusi berjudul Who is going to teach us, anyway yang saya presentasikan dalam seminar inagurasi ATLAS-ASIA pada tahun yang sama merupakan keprihatinan dan gugatan pada cara pandang konvensional kita atas pariwisata. Pembacaan saya, selama ini kita diposisikan oleh negara dan pendidikan pariwisata semata sebagai tuan rumah yang harus melayani wisatawan (asing) untuk dan atas nama target ekonomistik PAD dan devisa. Doktrin â€Sapta Pesona†dan kurikulum pendidikan pariwisata di Indonesia menjadi bukti premis ini. Pandangan saya, selain penting untuk tetap memfasilitasi masyarakat menjadi tuan rumah yang baik, penting pula untuk memfasilitasi mereka menjadi wisatawan yang baik. Saya yakin keduanya akan menghasilkan sinergi. Jangan lupa, kita adalah mahluk berwisata. Setiap kita ingin berwisata, mungkin pernah berwisata, tetapi siapakah yang pernah memperoleh fasilitasi dari negara dan pendidikan pariwisata untuk menjadi wisatawan sehingga bisa memperoleh pengalaman dan manfaat psikologis, sosiologis, kultural, religius dan ekonomi sepadan dengan uang, waktu dan energi yang dikeluarkan? Dalam kaitan dengan orang miskin, saya tertarik dan menganjurkan intensifikasi upaya memahami mereka dalam 2 posisi tersebut dan merumuskan kebijakan yang sesuai. Agenda personal saya saat ini adalah menemukan kemungkinan baru melalui inovasi institusi yang memberikan kesempatan kepada orang miskin untuk memperoleh nilai tambah dari kegiatan pariwisata. Tentu, apabila mereka melihat pariwisata sebagai opsi untuk meningkatkan derajat kesejahteraan.
6. Praksisnya di Indonesia?
Saya belum menengarai signifikansinya. Memang diskusi akademik dan praksis pembangunan pariwisata telah memberi perhatian pada wisatawan domestik, tetapi lebih didorong oleh argumentasi diversifikasi pasar. Gerakan Ayo Tamasya sebagai kristalisasi programnya masih sangat ekonomistik. Sejak lama saya aktif memromosikan kredo tourism for human and humanity. Saya meyakini paradigma kritis dengan menempatkan pariwisata bukan saja sebagai instrumen perolehan PAD dan devisa (pembangunan ekonomi) – yang terkadang berkonsekuensi dehumanisasi, tetapi juga instrumen untuk melengkapkan kemanusiaan (pembangunan sosial dan kesejahteraan). Hanya pembangunan pariwisata yang double track seperti ini yang mampu mewujudkan cita-cita menyejahterakan masyarakat Indonesia.
7. Harapan?
Pertama, saya berharap wawancara ini dapat menjelaskan pandangan saya. Saya menduga bahwa komentar yang menyertai artikel – yang berisi keberatan dan penilaian substansi bahkan personal sifatnya, terjadi karena pemberi komentar tidak membaca paper atau membaca tetapi tidak seksama, menyimak presentasi, mendengar pengantar maupun diskusi melainkan terbatas membaca artikel tersebut. Dengan peran laman UGM sebagai forum fasilitasi dinamika intelektual, saya berharap pemuatan hasil wawancara ini dapat mengembalikan semangat saling asah melalui diskusi produktif untuk pengembangan manusia dan kemanusiaan – cita-cita luhur UGM. Kedua, yang berkaitan dengan substansi, dengan senang hati saya berkeinginan menjalin diskusi dengan mereka yang tertarik pada topik ini. Pariwisata, kemiskinan dan poverty tourism adalah arena multidisiplin terbuka untuk berbagai pikiran, perspektif, ilmu dan keahlian yang ada di UGM. Sehubungan dengan wawancara ini, saya mengucapkan terima kasih kepada pengelola laman UGM yang telah memberikan ruang klarifikasi kepada saya.