Tanggal 10 Oktober 2021, dunia memperingati ”World Mental Health Day” atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. Menanggapi tersebut, Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM kemudian mengadakan Talkshow Kesehatan bertema ‘Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua’ dengan menghadirkan dokter spesialis kesehatan jiwa dari RSA UGM, dr. Tika Prasetiawati. Webinar disiarkan melalui kanal Youtube Rumah Sakit Akademik UGM pada Selasa, (12/10). Melalui kesempatan itu, dokter Tika mengajak untuk memahami kembali apa itu kesehatan jiwa.
Melansir definisi dari World Health Organization (WHO), dokter Tika menuturkan terdapat empat kriteria yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan memiliki jiwa nan sehat. Pertama yang bersangkutan dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan dari dirinya atau mengetahui potensi diri.
Kedua yang bersangkutan mampu mengatasi konflik dalam hidupnya. Tidak apa-apa jika tidak bisa menyelesaikan masalah secara langsung, namun yang bersangkutan mempunyai kesadaraan akan dirinya, mampu atau tidak menyelesaikan masalah itu. Jika tidak bisa maka dia akan meminta tolong kepada orang lain. Jika seseorang dapat berlaku seperti itu, maka dia mempunyai jiwa yang sehat.
Ketiga adalah ketika yang bersangkutan dapat berlaku produktif, dimana bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Serta yang terakhir (keempat) mempunyai peran aktif dalam komunitas atau lingkugannya.
“Jika satu dari kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka orang tersebut bisa dikategorikan (sebagai) orang dengan masalah kejiwaan atau orang dengan gangguan jiwa. Jadi, empat komponen itu harus terpenuhi semua,” tutur dokter Tika.
Lebih jelasnya, orang dengan masalah kejiwaan berbeda dengan orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan masalah kejiwaan adalah orang yang sedang berada dalam kondisi rentan mengalami gangguan jiwa. Misalnya adalah orang-orang yang mengalami penyakit kronis (kesembuhan penyakitnya lama), dimana dia rentan mengalami depresi, cemas, dan stres karena penyakitnya. Contoh lainnya adalah orang-orang yang baru mendapatkan musibah seperti kebakaran, bercerai, orang yang terkena PHK, dan lain sebagainya.
Sementara orang dengan gangguan jiwa adalah orang-orang yang memiliki gangguan pada fungsi pikir, perasaan serta perilakunya. Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa ini dapat ditandai dengan kondisi penurunan kualitas hidup yang bersangkutan. Contohnya jika seseorang yang tengah mengalami perasaan sedih. Setiap orang bisa dan berhak untuk merasa sedih. Namun, ketika perasaan sedih tersebut sampai menghambat yang bersangkutan melaksanakan aktivitas sehari-hari, seperti makan dan lain sebagainya, maka orang tersebut tengah mengalami gangguan jiwa.
“(begitu juga dengan) orang cemas karena kecemasan seorang ibu tidak bisa pergi belanja untuk memenuhi kebutuhannya kepasar karena cemas atau takut sama orang… Nah kalau keadaan tersebut dialami dan sudah mengurangi kualitas hidup: itu dikatakan gangguan jiwa,” jelas dokter Tika.
Lalu apa perbedaan orang dengan gangguan jiwa dengan orang “gila”?
Dokter Tika menegaskan bahwa penyebutan “orang gila” tersebut adalah salah. Istilah “orang gila” tidak ada dalam ilmu kesehatan jiwa. Orang yang disebut masyarakat sebagai “orang gila” ini benarnya disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa berat. Misalnya orang dengan skizofrenia, dimana ia tidak bisa membedakan antara fungsi berfikirnya dengan kenyataan yang ada.
“(jadi) tidak ada istilahnya gangguan jiwa ‘gila’ itu. Tidak ada namanya gangguan jiwa ‘gila’, jadi istilah (orang gila) itu tidak digunakan,” pungkas dokter Tika.
Dokter Tika prihatin ketika banyak orang memanggil orang dengan gangguan jiwa berat tersebut dengan sebutan “orang gila”. Selama ini penggunaan sebutan tersebut menimbulkan stigma negatif kepada yang bersangkutan dan menjadikan mereka dijauhi oleh orang-orang.
“Istilah benarnya bisa (dengan) orang dalam gangguan jiwa, atau disabilitas mental atau psiko-sosial, itu kan lebih enak didengar dibandingkan menyebut ‘orang gila’,“ tambah dokter Tika.
Klik disini untuk mengetahui tentang kesehatan jiwa lebih jauh.
Penulis: Aji