Pakar Geospasial Departemen Geodesi Fakultas Teknik UGM, Dr. I Made Andi Arsana menanggapi polemik Pagar Laut di pantai utara Tangerang. Andi menyampaikan berdasarkan aturan internasional atau UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) pantai di utara Tangerang merupakan perairan kepulauan sehingga kedaulatannya tidak bisa dimiliki oleh individu atau perusahaan. Memang pernah ada Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) yang mengatur penguasaan ruang laut berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, namun HP3 tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena tidak memenuhi aturan keadilan.
Hal tersebut disampaikan Andi di kegiatan Sekolah Wartawan, Kamis (30/1), bertema ‘Memetakan Sengkarut Pagar Laut’ yang digelar oleh Forum Wartawan Kampus Universitas Gadjah Mada (Fortakgama) di kampus UGM. “Pemahaman terhadap kebijakan pengelolaan ruang sangat jelas tidak tampak karena pemagaran tidak sesuai dengan tata ruang dan zonasi pesisir dan laut Provinsi Banten,” tutur Andi.
Andi pun turut menyanggah klaim sejumlah pihak yang menyebut jika pagar laut di Tangerang merupakan tanah tenggelam sebelumnya. Paham soal kehadiran pagar laut untuk pengendali abrasi juga dirasa kurang tepat karena Andi beserta timnya telah melakukan kajian dengan menggunakan data berupa arsip citra satelit yang menunjukkan area tersebut sejak dulu memang bagian dari perairan. Data citra menunjukkan, sejak tahun 1976 garis pantai masih berjarak ratusan meter dari lokasi pagar laut yang sekarang. Hal serupa juga masih terlihat hingga tahun 1982, meskipun terdapat sejumlah klaim sertifikat tanah tetapi citra satelit menunjukkan area tersebut tidak pernah menjadi daratan. “Jadi sebetulnya pada kasus ini ada indikasi usaha konversi laut menjadi daratan dengan berbagai cara,” ungkap Andi.
Andi beserta tim selanjutnya menelusuri kepastian kapan munculnya pagar laut untuk pertama kalinya dari citra satelit. Berdasarkan data Sentinel 2, pembangunan diperkirakan terjadi sejak Mei 2024 karena di bulan Juni telah terbangun pagar laut sepanjang 6 kilometer, yang terus bertambah hingga 6-7 kilometer di bulan Juli 2024. Hal ini terus berlanjut hingga November dengan penambahan panjang pagar laut secara bertahap. “Berdasarkan hukum internasional, seharusnya di perairan itu tidak boleh ada hak milik (SHM) ataupun hak guna bangunan (HGB) karena privatisasi laut akan berdampak bagi masyarakat nelayan yang memanfaatkan laut sebagai ruang hidupnya,” ujarnya.
Pemberian hak atas tanah pesisir di Tangerang menjadi persoalan akibat kesalahan yang terjadi sejak awal pengajuan sertifikat. Andi juga menjelaskan pihak-pihak yang mungkin terlibat dalam polemik ini, mulai dari individu dan badan hukum sebagai pemohon, Dinas Tata Ruang atau Pemerintah Daerah, petugas ukur Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan surveyor swasta, serta Kementerian atau lembaga terkait. “Yang perlu diingat adalah individu atau badan hukum seharusnya tidak boleh mengubah zona laut menjadi area reklamasi tanpa izin,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Firsto