
Fendryan Gabriel (25), pemuda asal Nusa Tenggara Timur merupakan anak dari keluarga Migran yang lahir di Sabah, Malaysia, namun tumbuh besar di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Meski dibesarkan di tanah perantauan dengan keterbatasan ekonomi, tidak pernah menyerah dengan keadaan untuk menggapai mimpi bisa melanjutkan kuliah ke jenjang pendidikan tinggi. Kini, ia berhasil meraih mimpinya mendapatkan gelar sarjana di Kampus UGM bersama 1.408 lulusan Sarjana dan Sarjana Terapan lainnya yang diwisuda pada Rabu (26/2) lalu di Grha Sabha Pramana.
Fendi, demikian ia akrab disapa bercerita sejak kecil hingga remaja keluarganya sempat berpindah tempat tinggal, sehingga ia mengaku memiliki pengalaman yang unik mengenal budaya dan karakter masyarakat yang berbeda di setiap masing-masing tempat. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah pertama di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Malaysia, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di SMKN 2 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Meski telah kembali ke tanah air, Fendi merasa seperti orang asing di negeri sendiri ketika itu. “Bahkan imigrasi sempat mendatangi (keluarga) kami karena ada laporan bahwa kemungkinan ada imigran gelap di sekitar,” kenangnya, Senin (3/3).
Dengan latar belakang pendidikan orang tua yang terbatas, Bapak lulusan SMP dan Ibu hampir lulus SD, Fendi tak membiarkan hal itu meredam impiannya. Di tengah keterbatasan akses informasi tentang pendidikan tinggi, Fendi tetap gigih berusaha. Beruntung, beberapa gurunya di SMK merupakan lulusan perguruan tinggi di Yogyakarta, yang kemudian memberinya inspirasi untuk mengejar pendidikan. Setelah mencari berbagai sumber informasi, ia dengan mantap memilih Universitas Gadjah Mada sebagai tujuan pendidikan tinggi selanjutnya. “Bagai katak di bawah tempurung, saya hanya mendapatkan sedikit sekali informasi perihal jenjang kuliah saat itu di tempat saya,”ujarnya.
Tahun 2019 kemudian menjadi titik balik besar dalam hidup Fendi ketika ia diterima di Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM melalui jalur afirmasi bagi anak-anak TKI. Jalur afirmasi ini membuka jalan bagi siswa-siswa dari latar belakang kurang beruntung untuk bisa mengenyam pendidikan di universitas negeri terkemuka seperti UGM. Ia juga berhasil mendapatkan beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Meski begitu, berbagai tantangan tentu dihadapi untuk beradaptasi di lingkungan baru di Yogyakarta. Namun, hal itu tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk bisa merasa nyaman. Berkat dukungan teman-teman asrama, yang sebagian besar juga perantau, proses adaptasi berjalan dengan lancar. Rasa kebersamaan ini membantu Fendi merasa seperti di rumah, jauh dari tempat asalnya di Kalimantan Selatan. Suara gamelan yang sering berkumandang di lingkungan asrama Darmaputera Baciro juga menjadi salah satu kenangan awal yang membuatnya merasa betah. “Petanda yang baik, bukan?,” katanya.
Di awal kuliah, ia fokus pada rutinitas akademik dan menjadi mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah pulang kuliah pulang), pada tahun 2022, Fendi mulai aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Salah satu pencapaian paling membanggakannya adalah ketika ia terpilih menjadi angkatan pertama yang mengikuti program pertukaran mahasiswa Kampus Merdeka ke Universitas Al-Washliyah, Medan. “Dengan segala kendala dan kondisi COVID-19, puji Tuhan saya bisa menyelesaikannya, Program ini membawa saya pada pengalaman baru yang memperkaya wawasan, baik akademik maupun non-akademik,” ujarnya penuh rasa syukur.
Kegiatan lain yang juga membentuk karakter kepemimpinannya adalah pengalaman Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang mengajarkannya pentingnya inisiatif untuk memulai percakapan dengan orang-orang baru. Melalui KKN, ia mengatakan, ia bisa belajar bagaimana membangun relasi sosial yang kuat, hal yang sangat penting untuk kesuksesan di masa depan.
Menyelesaikan skripsi juga menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Fendi. Sempat mengganti judul setelah seminar proposal di semester 6, ia mengaku butuh dua tahun lebih untuk menyelesaikan skripsi. Baginya, butuh waktu cukup lama untuk menyadari bahwa ia takluk pada karakternya sendiri. Ketika ia akhirnya berani untuk membuka komunikasi dengan dosen pembimbing skripsinya, segalanya mulai berjalan lebih lancar. Hingga akhirnya di Semester 11, ia lulus dengan nilai B+ dan dengan judul skripsi ‘Teknik Penerjemahan Nomina Majemuk Bahasa Indonesia pada Artikel Berita Daring Antara News.’ “Saya percaya pentingnya peran dosen dalam proses ini. Diskusi, kritikan, masukan, dan deadline dari dosen pembimbing, itulah bensin yang paling lambat habisnya,” kata Fendi yang lulus dengan IPK 3,59 ini.
Kini, setelah menyelesaikan pendidikan di UGM, Fendi merasa bahwa perjalanan panjang ini memberinya banyak pelajaran. Ia berpesan kepada mahasiswa lain yang masih berjuang menyelesaikan kuliahnya untuk tidak takut memulai menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi. “Jangan lupa bangun komunikasi dengan teman yang sudah selesai, dengan dosen pembimbing, dan jangan takut untuk salah. Karena selalu ada ruang untuk memperbaiki, dan pada akhirnya semua ketakutan itu hanya ada di kepala,” pungkasnya.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto