
Ketua Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H., menyatakan Indonesia masih kekurangan jumlah hakim sehingga saat ini beban kerja hakim semakin tinggi pada pengadilan tingkat pertama. Untuk mengatasi jumlah hakim tersebut, pihaknya akan menerbitkan izin dispensasi untuk melakukan sidang dengan hakim tunggal di pengadilan negeri. Hal itu disampaikan oleh Sunarto dalam Sidang Istimewa Laporan Tahunan MA Tahun 2024 pada 19 Februari lalu.
Soal penerbitan izin dispensasi hakim tunggal di pengadilan negeri dalam memimpin sidang ditanggapi oleh Dosen Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M. Menurut Akbar, izin dispensasi memakai hakim tunggal di Pengadilan Negeri dianggap berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan. “Sebenarnya melanggar peraturan jika hanya hakim tunggal. Sebab hakim tunggal dapat menjadi kekuasaan absolut jika tidak ada hakim lain yang dapat mengoreksi keputusan,” kata Akbar, Kamis (13/3).
Akbar menyebutkan, pasal 11 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap perkara seharusnya diadili oleh setidaknya tiga orang hakim. Ketentuan tersebut dilakukan dalam rangka untuk menciptakan keadilan di ruang sidang. Oleh karena itu, putusan pengadilan berdasarkan keputusan terbanyak dari para Hakim. “Sebenarnya bisa saja dilakukan oleh hakim tunggal, namun dalam pembuktian dan penyusunan putusan, tetap harus dilakukan oleh tiga orang hakim,” katanya.
Selain itu, dampak terkait perizinan pemakaian hakim tunggal ini juga akan berpengaruh terhadap proses peradilan di Indonesia. Akbar mengkhawatirkan adanya potensi penurunan kualitas keputusan atau objektivitas jika sidang dilakukan oleh hakim tunggal. “Tentu dapat menimbulkan banyak kesalahan dan kekurangan dalam penjatuhan putusan karena tidak ada koreksi dari hakim lainnya, atau bahkan terdapat kekuasaan absolut oleh hakim tersebut,” tuturnya.
Tidak hanya itu, adanya penggunaan hakim tunggal juga akan meningkatkan beban kerja bagi hakim tunggal yang harus memutuskan sidang secara mandiri. Beban tanggung jawab yang semakin besar dapat mempengaruhi kualitas putusan yang dihasilkan. Sebab, hakim tunggal tidak hanya dituntut untuk menganalisis dan memahami seluruh aspek kasus secara mendalam, tetapi juga harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang adil dan objektif. “Beban kerja yang bertambah, ada potensi dampak yang besar pada kualitas pertimbangan hukum dan keputusan akhir yang mereka buat,” paparnya.
Akbar menyarankan agar Mahkamah Agung (MA) sebaiknya mengambil langkah-langkah strategis untuk menjamin agar proses peradilan tetap berjalan dengan baik, meskipun ada kebijakan baru yang berpotensi meningkatkan beban kerja pada hakim tunggal. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah melakukan rekrutmen hakim secara rutin setiap tahun guna memastikan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai untuk Hakim. “Dengan meningkatkan jumlah hakim, MA dapat mengurangi beban kerja individu hakim, mencegah terjadinya penumpukan perkara, dan mempercepat proses penyelesaian perkara,” pungkasnya.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik