
Baru-baru ini terjadi fenomena hujan es di sejumlah wilayah di Indonesia. Fenomena ini banyak menarik perhatian publik lantaran peristiwa ini jarang cukup unik terjadi di Indonesia. Belum lama ini di sekitar wilayah kampus UGM pada selasa (13/3) lalu diguyur hujan es seukuran kerikil batu kecil-kecil. Fenomena serupa terjadi di wilayah Tasikmalaya pada Kamis (14/3) kemarin yang disertai badai angin puting beliung.
Nalya Naomi Tarigan, Mahasiswa Fakulta Hukum UGM ini menyaksikan fenomena hujan es di kampus UGM pada selasa (13/3) lalu. Kala itu Nayla yang tengah mengabdikan suasana hujan di sekitar Gedung Pusat. Ia baru menyadari ada sejumlah pantulan pada hasil rekaman video di ponselnya. “Jadi tadi tuh aku ngevideoin suasana hujan di UGM. Tapi pas dilihat di videonya itu ada yang mantul-mantul dan ternyata ketika dicek lagi itu ternyata bongkahan es batu,” ungkap Nayla mengaku Fenomena hujan es ini baru pertama ia alami selama kuliah di UGM.
Dosen Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si., mengatakan fenomena hujan es terbentuk akibat adanya pertumbuhan awan Cumulonimbus yang sangat intensif karena didukung kandungan uap air yang cukup banyak. Pada saat kejadian, suhu udara di sekitar cukup rendah sehingga kristal es yang berada di awan Cumolonimbus bagian atas menyentuh permukaan yang cukup rendah suhunya namun tetap bertahan dengan bentuk kristal es atau biasa disebut hail dengan ukuran yang lebih kecil.
Menurut Emilya, fenomena hujan es merupakan salah satu bentuk cuaca ekstrem apabila ukuran hail yang jatuh berdiameter besar dan berat dengan ukuran 5-50 mm. “Kejadian ini pernah tercatat di beberapa kota di Indonesia, bahkan di Yogyakarta juga pernah terjadi beberapa tahun lalu,” ungkapnya, Jumat (14/3).
Ia menjelaskan, Fenomena hail tidak memiliki pola tertentu, akan tetapi pertumbuhan awan Cb dapat diamati dengan akibat kondisi massa udara yang labil dan proses konveksi serta didukung oleh suplai air yang tinggi. “Pertumbuhan awan Cumulonimbus sering terjadi di daerah kepulauan dan daerah perkotaan yang dengan dekat sumber lingkungan dengan kondisi suhu yang panas,” katanya.
Untuk menghadapi potensi cuaca ekstrem yang saat ini kerap sering terjadi, kata Emilya, masyarakat perlu melakukan mitigasi dan adaptasi. Bentuk mitigasi bisa dengan membangun kesadaran bersama pentingnya menjaga suhu Bumi tetap tidak mengalami peningkatan secara global. “Tindakan sederhana bisa dengan menanam pohon ataupun mempertahankan hutan dan bentuk penggunaan lahan alami lainnya,” katanya.
Selain itu, tambahnya, penting bagi masyarakat untuk siap hidup berdampingan dengan alam dikarenakan ada banyak cuaca ekstrem yang sering kali menimbulkan bencana. “Pemerintah menyiapkan mitigasi dan melakukan sosialisasi ke Masyarakat. Masyarakat melakukan aksi dan adaptasi untuk mencegah dan menghadapi bencana yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrim,” katanya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson