
Kebebasan berekspresi dapat disampaikan melalui medium apapun, termasuk media hiburan. Stand-up comedy menjadi salah satu pertunjukan yang dinilai unik, karena di samping adanya unsur hiburan, isi pertunjukan seringkali menampilkan sisi kritik dari komedian terhadap berbagai fenomena dan isu yang terjadi.
Hal itu mengemuka Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) #21 melalui tajuk “Panggung Komika, Panggung Kritik: Politik dalam Balutan Tawa” pada Rabu (29/5) secara daring. Diskusi yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada ini menghadirkan Komika Sandi Prastowo dan Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Dr. Ardian Indro Yuwono.
Ardian Indro Yuwono menuturkan, komedi saat ini telah menjadi bentuk bagian dari meningkatkan pendidikan demokrasi. Pasalnya para komika bisa menjadi aktor komunikasi alternatif yang mampu mengisi celah-celah literasi politik masyarakat. Dalam studi budaya populer, humor yang disampaikan oleh komika berfungsi menyampaikan pesan serius dengan pendekatan ringan. “Isu-isu politik dan sosial bukanlah bahan yang mudah dipahami oleh sebagian masyarakat. Namun media hiburan berupa komedi sejatinya mengambil panggung untuk menerjemahkan isu tersebut ke dalam bahasa dan penyampaian yang dapat diterima oleh masyarakat,” katanya.
Keberadaan komika bisa menjadi sarana untuk memperkuat kesadaran politik warga negara, terutama generasi muda yang sering jenuh dengan pendekatan politik konvensional. Meski demikian, ia juga mengingatkan bahwa posisi komika sangat rentan terhadap kesalahpahaman. “Materi komedi yang menyentuh isu sensitif dapat dengan mudah disalahartikan sebagai penghinaan, provokasi, atau pelanggaran norma sosial,” imbuhnya.
Sandi Prastowo menceritakan pengalaman pribadinya sebagai komika yang sering mengangkat isu-isu sosial politik. Menurutnya, stand up comedy adalah perwujudan dari “stand up for what you believe” bukan hanya sekedar hiburan semata. “Komedi sama halnya dengan seni, memberikan ruang ekspresi yang luas bagi seseorang untuk mengekspresikan keresahan masyarakat atas realitas sosial yang ada,” ujarnya.
Sandi menjelaskan, penyusunan materi komedi memerlukan riset dan pemahaman mendalam yang jelas untuk mampu mengubah kritik menjadi kemasan komedi. “Cara membuat materi kritik dalam komedi dimulai dari riset berita, menggali keresahan pribadi, merumuskan sudut pandang. Lalu juga bisa menguji materi melalui panggung open mic,” ucapnya.
Tidak cukup sampai di situ, seorang komedian juga perlu memertimbangkan penggunaan diksi dalam menyampaikan materi dengan melihat sensitivitas audiens. Ada banyak hal yang boleh dan tidak boleh dikatakan di depan penonton. Hal ini dimaksudkan agar tidak jatuh dalam provokasi atau pelanggaran etika.
Sandi sendiri mengakui bahwa selama menjadi komedian, ia sering menghadapi berbagai tantangan mengenai batasan antara pesan, moral, dan unsur komedi itu sendiri. Beberapa di antaranya adalah risiko teguran akibat improvisasi spontan yang menyinggung pihak tertentu, penyebaran materi tanpa konteks melalui media sosial, dan respons negatif dari publik yang hanya menangkap kelucuan tanpa memahami substansi kritiknya. “Apalagi di tengah maraknya penggunaan media sosial, komedi bisa menjadi sasaran empuk untuk menebar misinformasi,” pungkasnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik