
Pemimpin negara Iran dan Israel sepakat melaksanakan gencatan senjata usai melakukan perang selama 12 hari dimana sejak 13 Juni lalu, Israel memulai serangan dengan menargetkan program pengembangan nuklir di Iran. Serangan balasan oleh Iran dilakukan dengan mengirimkan ratusan pesawat nirawak dan rudal yang ditujukan terhadap pusat penelitian dan kilang minyak yang ada di negara tersebut. Meski kedua belah pihak sementara ini melakukan gencatan senjata setelah mendapat intervensi presiden Amerika Serikat Donald Trump, belum dipastikan apakah kedua negara dan negara kawasan timur tengah tetap mampu menjaga kawasan tersebut dari konflik perang yang tidak pernah berkesudahan.
Guru Besar Geopolitik Timur Tengah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Prof. Dr. Dra. Siti Mutiah Setiawati, M.A. menilait konflik Iran-Israel sebagai konflik yang rumit. Siti menerangkan sejarah konflik Iran sudah dimulai sejak Amerika Serikat yang menuduh Iran mengembangkan nuklir untuk senjata pemusnah massal.
Posisi Indonesia dalam menghadapi konflik ini menurut Siti tidak boleh gegabah. Pemerintah mesti bersikap hati-hati dan menunggu perkembangan yang terjadi untuk melihat apakah pemerintah dapat masuk sebagai penengah. Namun, apabila kondisinya pelik dan sulit bagi Indonesia untuk hadir, maka Siti menyarankan supaya pemerintah agar tidak tergesa-gesa. “Sementara ini, yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia adalah untuk mengevakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Iran dan Israel sebagai langkah perlindungan awal,” kata Siti, Rabu (25/6).
Siti berharap konflik ini agar segera selesai dan terdapat resolusi antara kedua negara tersebut sembari. Ia juga menegaskan agar pemerintah Indonesia untuk terus memantau kemungkinan eskalasi konflik ini sembari memastikan keselamatan WNI yang ada di Iran dan Israel.
Dampak Ekonomi
Menanggapi adanya kekhawatiran terhadap meningkatnya ketegangan dalam konflik Iran-Israel yang dinilai akan membawa risiko ekonomi global, Ekonom Senior FEB UGM, Dr. Revrisond Baswir, M.B.A., Ak., CA, menilai bahwa dampak langsungnya terhadap perekonomian Indonesia tidak terlalu signifikan, kecuali jika negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, Perancis, atau Rusia ikut terlibat secara terbuka dalam konflik tersebut.
“Dampak konflik Iran-Israel terhadap perekonomian global sangat tergantung pada sejauh mana negara-negara besar terpancing masuk. Kalau keterlibatan mereka meningkat, barulah risiko global naik tajam. Namun untuk Indonesia, dampak langsungnya tidak terlalu besar,” ujar Revrisond.
Dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi global seperti ini, menurutnya, tantangan utama Indonesia justru terletak pada persoalan internal. Menurutnya, Indonesia harus fokus pada transparansi, pemberantasan korupsi, pengurangan kesenjangan sosial, dan penciptaan lapangan kerja. “Itu lebih krusial daripada efek eksternal,” tegasnya.
Terkait adanya lonjakan harga komoditas akibat konflik, Revrisond menilai dampaknya terhadap ekspor Indonesia dan neraca perdagangan nasional masih relatif ringan dibandingkan dengan perang tarif yang pernah dilancarkan oleh Presiden AS Donald Trump. “Harga minyak naik, tapi efeknya tidak separah saat perang tarif dulu. Kita masih cukup bisa bertahan,” ujarnya.
Sebagai langkah strategis, ia menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terlalu larut dalam ketegangan geopolitik global, tetapi justru memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri, khususnya sektor energi. “Pemerintah harus serius membenahi tata kelola Pertamina dan meningkatkan kapasitas kilang minyak dalam negeri. Ini kunci untuk menghadapi fluktuasi harga minyak dunia,” ungkapnya.
Selain itu, terkait proyeksi defisit besar di Amerika Serikat yang bisa berdampak pada arus modal global, Revrisond memberi catatan penting. Saat ini AS menghadapi defisit besar, biasanya tekanan terhadap negara berkembang seperti Indonesia meningkat. Pemerintah AS akan lebih agresif mendorong kepentingan ekonominya. “Kondisi ini mempengaruhi posisi Indonesia secara fiskal maupun diplomatik,” paparnya.
Revrisond mengingatkan seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat internasional untuk tidak menjadikan krisis global sebagai alasan stagnasi nasional. “Kondisi global jangan dijadikan kambing hitam. Justru ini saatnya kita berbenah dan memperkuat ekonomi nasional secara kolektif,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania dan Lazuardi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : CNBC