Sejak Oktober tahun 2022 lalu, nakhoda baru Direktorat Teknologi Informasi Universitas Gadjah Mada dipimpin oleh Prof. Dr. Ir. Ridi Ferdiana, S.T., M.T., IPM. Meski baru menyandang gelar profesor pada bulan Juni 2023 lalu, Ridi termasuk salah satu jajaran pimpinan muda di lingkungan UGM yang bergelar profesor. Dosen Teknik Elektro Fakultas Teknik ini berhasil menyandang profesor pada usia 39 tahun. Tidak hanya berhasil meraih gelar akademik tertinggi, namun ia juga tengah mengemban amanah mengurusi teknologi informasi di tingkat universitas. Di tangannya, ia bertanggung jawab melakukan pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan dan internet di lingkungan universitas serta melakukan perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan infrastruktur jaringan, pusat data, dan fasilitas komputasi yang andal.
Ridi Ferdiana, Profesor Muda UGM Gemar Baca Buku dan Meneliti AI
Ridi, demikian ia akrab disapa, lahir dan besar di kota Cirebon, Jawa Barat. Anak bungsu dari dua bersaudara ini mengaku sudah hampir tiga tahun mendaftar untuk pengusulan profesor. Ia mengaku beruntung adanya perubahan aturan dan berkas syarat pengusulan profesor baru-baru ini dari Kemendikbud Ristek sehingga gelar profesornya bisa turun tahun ini. “Antrian sudah agak lama sekitar dua tahun. Baru kemarin bulan Juni turun,” katanya, Selasa (3/10) di kantor DSDI UGM.
Ridi mengaku sudah mengajar di Fakultas Teknik UGM kurang lebih lima belas tahun. Pendidikan Sarjana, S2, dan S3 ia selesaikan di Fakultas Teknik UGM. “Saya masuk (jadi dosen) tahun 2008 bulan Desember. Sekitar 15 tahun menjadi dosen, akhirnya jadi profesor,” kenangnya.
Selama menjadi pengajar, kata Ridi, ia aktif melakukan penelitian dan mengaplikasikan riset berguna bagi masyarakat maupun perusahaan. Setiap tahun, rata-rata ia bisa memublikasikan 1-2 dua riset baru yang diterbitkan di jurnal atau dipresentasikan dalam sebuah konferensi internasional. “Setahun kalau produktif, bisa 1 sampai 2 publikasi, satu jurnal dan satu konferensi. Kalau lagi apes, dua konferensi saja. Tiap tahun riset beda topik, karena tergantung pendanaan. Sangat bersyukur, pandanaan di UGM tidak sulit, ada dari Prodi, Fakultas maupun universitas ,”kata Ridi yang memiliki kompetensi di bidang riset rekayasa perangkat lunak.
Selama lima belas tahun belakangan ini, Ridi mengaku tidak hanya datang ke kampus untuk mengajar. Di sela-sela itu, ia memanfaatkan waktu di laboratorium dan aktif di depan komputer untuk mengurusi riset. Setiap hari ia selalu datang lebih pagi ke kampus dan pulang kerumah hingga jam 5 sore. Sesekali ia datang ke perpustakaan untuk membaca buku. Setiap datang ke perpustakaan Fakultas, Ridi bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk membaca buku dalam rangka menggali ide riset terbaru yang ingin ia lakukan. “Ada ruang kecil di lantai tiga, di situ saya kumpulkan banyak buku untuk saya baca. Lalu, buat resume satu-satu. Saya akan pilih ide riset yang mungkin bisa saya lakukan, misalnya riset untuk budget yang bisa dipakai, paling tidak dapat budget 15 juta dari prodi atau 300 juta dari Fakultas,” urainya.
Tidak hanya mengumpulkan buku di perpustakaan, Ridi juga tidak segan-segan untuk berlangganan jurnal yang tidak disediakan oleh fakultas atau Universitas agar mendukung riset yang ia lakukan. Bahkan beberapa kerja sama riset yang sudah dia lakukan diantaranya dengan Microsoft Jepang tahun 2019 melakukan riset kecerdasan buatan berempati. “Yang kita lakukan bagaimana AI itu paham unggah-ungguh. Bisa ngomong dengan user yang sebaya atau seumuran sehingga bisa lebih gaul,” katanya.
Selain itu, ia juga pernah melakukan riset soal kebiasaan masyarakat memulai percakapan saat mengetik pesan di sebuah aplikasi percakapan. “Waktu itu saya riset soal perilaku masyarakat kita saat mengetik di smartphone. Kita sampai tahu anak SMP itu misalnya sering ngomong apa, ngobrol formal atau informal, menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Kita tahu keyboard virtual itu menyimpan apa yang sering kita tulis,” jelasnya.
Tidak hanya itu, ia juga pernah meneliti soal bahasa kucing dengan bekerja sama dengan Samsung dengan mengumpulkan sampel 35 hingga 40 ribu video kucing di aplikasi youtube. Dari riset ini diketahui suara kucing dan perilaku yang dilakukannya. “Kita petakan berdasarkan ras kucing dan suaranya, suara kucing ingin kawin, suara kucinglagi sedang marah, kita klasifikasi mood kucing. Sekitar 35-40 ribu video kucing kita kumpulkan dari youtube, lalu kita ekstrak audionya, kita koneksikan dengan deskripsi yang tertera di video itu. Angan-angan saya suatu saat nantinya dari gawai kita, bisa tahu suara kucing ketika lagi lewat, kita tahu ia lagi ingin apa, agar kita bisa kita tahu apa yang harus dilakukan,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan, soal tips agar seorang dosen bisa mengejar gelar profesor lebih cepat seperti dirinya di bawah usia 40 tahun, menurut Ridi, seorang dosen tetaplah konsisten dalam mengajar dan riset secara bersamaan dan berani berkata tidak pada hal yang tidak sesuai dengan kompetensinya. “Misalnya kita ditawari sebuah pekerjaan tidak kompeten berujung jadi administrasi, lebih baik ditolak. Tidak semuanya kita tolak, namun tidak semua kita terima, tapi ada personal target yang mesti kita gapai,” katanya.
Saat ditanya riset apa yang ingin ia selesaikan di masa mendatang, Ridi berkeinginan membuat riset tentang digital sibling dimana orang bisa berinteraksi dengan saudara, kerabat kandung atau orang tua yang sudah meninggal secara digital lewat teknologi kecerdasan buatan (AI). “Orang yang sudah meninggal, bagaimana perilakunya bisa masuk ke AI. Harapan saya nantinya anak cucu bisa ngobrol dan berinteraksi. Dari perilaku, cara ngomong, hingga suara dibuat bisa semirip mungkin. Saya memikirkan kodenya (algoritma) seperti apa. Paling tidak bisa mulai dari diri saya sendiri,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson